Translate

SUNAH-SUNAH HARI JUMAT



Hari Jumat adalah hari yang mulia, dan kaum muslimin di seluruh penjuru dunia memuliakannya. Keutamaan yang besar tersebut menuntut umat Islam untuk mempelajari petunjuk Rasulullah dan sahabatnya, bagaimana seharusnya msenyambut hari tersebut agar amal kita tidak sia-sia dan mendapatkan pahala dari Allah ta’ala.
Keutamaan Hari Jum’at
1. Hari paling utama di dunia
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ، فِيْهِ خُلِقَ آدَمُ، وَفِيْهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ، وَفِيْهِ أُخْرِجَ مِنْهَا، وَلاَ تَقَوْمُ السَّاعَةُ إِلاَّ فِي يَوْمِ الْجُمُعَة .
“Sebaik-baik hari yang matahari terbit padanya adalah hari Jum’at; pada hari ini Adam q diciptakan, pada hari ini (Adam Alaihissalam) dimasukkan ke dalam surga, dan pada hari ini pula ia dikeluarkan dari surga. Dan tidaklah kiamat akan terjadi kecuali pada hari ini.
[HR Muslim, no. 854]
Dalam riwayat Aus bin Aus Radhiyallahu ‘anhu dengan lafal:
إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمُ الْجُمُعَةِ، فِيْهِ خُلِقَ آدَمُ، وَفِيْهِ قُبِضَ، وَفِيْهِ النَّفْخَةُ، وَفِيْهِ الصَّعِقَةُ …….
“Sesungguhnya seutama-utama hari kalian adalah hari Jum’at ; pada hari ini Adam Alaihissalam diciptakan, pada hari ini pula ia dimatikan, pada hari ini ditiupkan sangkakala (tanda kiamat), dan pada hari ini pula hari kebangkitan”
[HR Abu Dawud, no. 1047; An Nasa’I, no. 1374 dan Ibnu Majah, no. 1085]
2. Hari bagi kaum muslimin
Hari jum’at adalah hari berkumpulnya umt Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masjid-masjid mereka yang besar untuk mengikuti shalat dan sebelumnya mendengarkan dua khutbah jum’at yang berisi wasiat taqwa dan nasehat-nasehat, serta do’a.
Dari Kuzhaifah dan Rabi’i bin Harrasy radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
أَضَلَّ اللهُ عَنِ الْجُمُعَةِ مَنْ كَانَ قَبْلَنَا، فَكَانَ لِلْيَهُوْدِ يَوْمُ السَّبْتِ وَكَانَ لِلنَّصَارَى يَوْمُ اْلأَحَدِ
Allah telah menyesatkan orang-orang sebelum kita dari hari Jum’at, maka umat Yahudi memperoleh hari Sabtu, umat Nasrani memperoleh hari Ahad.
فَجَاءَ اللهُ بِنَا فَهَدَانَا اللهُ لِيَوْمِ الْجُمُعَةِ فَجَعَلَ الْجُمُعَةَ وَالسَّبْتَ وَاْلأَحَدَ، وَكَذَلِكَ هُمْ تَبَعٌ لَنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
. Lalu Allah mendatangkan kita dan memberi kita hidayah untuk memperoleh hari Jum’at. Maka Allah menjadikan hari Jum’at, Sabtu dan Ahad, dan mereka (umat sebelum kita) berada di belakang kita pada hari kiamat.
نَحْنُ اْلآخِرُوْنَ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا وَاْلأَوَّلُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمَقْضِيَّ لَهُمْ قَبْلَ الْخَلاَئِقِ.
Kita datang paling akhir di dunia, tetapi paling awal datang di hari kiamat yang telah ditetapkan untuk mereka sebelum diciptakan seluruh makhluk”
[HR Muslim, no. 856]
Bahkan hari jum’at adalah hari rayanya kaum muslimiin!
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِينَ، إِنَّ هَذَا يَوْمٌ جَعَلَهُ اللَّهُ لَكُمْ عِيدًا، فَاغْتَسِلُوا، وَعَلَيْكُمْ بِالسِّوَاكِ
“Wahai kaum muslimin, sesungguhnya saat ini (yaitu hari jum’at) adalah hari yang dijadikan oleh Allah sebagai hari raya untuk kalian. Maka mandilah dan hendaklah kalian bersiwak”
(HR Thabraniy dalam Mu’jam Ash-Shaghir, dan dinilai shahiih oleh Syaikh Al-Albani)
Dari Anas bin Maalik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
أَتَانِي جِبْرِيلُ وَفِي يَدِهِ كَالْمِرْآةِ الْبَيْضَاءِ فِيهَا كَالنُّكْتَةِ السَّوْدَاءِ
Jibril pernah mendatangiku, dan di tangannya ada sesuatu seperti kaca putih. Di dalam kaca itu, ada titik hitam.
فَقُلْتُ : يَا جِبْرِيلُ مَا هَذِهِ ؟ ، قَالَ : هَذِهِ الْجُمُعَةُ
Aku pun bertanya, “Wahai Jibril, ini apa?” Beliau menjawab, “Ini hari Jumat.”
قال : قُلْتُ : وَمَا الْجُمُعَةُ ؟ ، قَالَ : لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ
Saya bertanya lagi, “Apa maksudnya hari Jumat?” Jibril mengatakan, “Kalian mendapatkan kebaikan di dalamnya.”
قَالَ : قُلْتُ : وَمَا لَنَا فِيهَا ؟ ، قَالَ : يَكُونُ عِيدًا لَكَ وَلِقَوْمِكَ مِنْ بَعْدِكَ ، وَيَكُونُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى تَبَعًا لَكَ
Saya bertanya, “Apa yang kami peroleh di hari Jumat?” Beliau menjawab, “Hari jumat menjadi hari raya bagimu dan bagi kaummu setelahmu. Sementara, orang Yahudi dan Nasrani mengikutimu (hari raya Sabtu–Ahad).”
قَالَ : قُلْتُ : وَمَا لَنَا فِيهَا ؟ ، قَالَ : لَكُمْ فِيهَا سَاعَةٌ لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ فِيهَا شَيْئًا مِنَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ هُوَ لَهُ قَسْمٌ إلَّا أَعْطَاهُ إيَّاهُ ، أَوْ لَيْسَ لَهُ بِقَسْمٍ إلَّا ادَّخَرَ لَهُ عِنْدَهُ مَا هُوَ أَفْضَلُ مِنْهُ ، أَوْ يَتَعَوَّذُ بِهِ مِنْ شَرٍّ هُوَ عَلَيْهِ مَكْتُوبٌ إلَّا صَرَفَ عَنْهُ مِنَ الْبَلَاءِ مَا هُوَ أَعْظَمُ مِنْهُ
Aku bertanya, “Apa lagi yang kami peroleh di hari Jumat?” Beliau menjawab, “Di dalamnya, ada satu kesempatan waktu; jika ada seorang hamba muslim berdoa bertepatan dengan waktu tersebut, untuk urusan dunia serta akhiratnya, dan itu menjadi jatahnya di dunia, maka pasti Allah kabulkan doanya. Jika itu bukan jatahnya maka Allah simpan untuknya dengan wujud yang lebih baik dari perkara yang dia minta, atau dia dilindungi dan dihindarkan dari keburukan yang ditakdirkan untuk menimpanya, yang nilainya lebih besar dibandingkan doanya.”
قَالَ : قُلْتُ لَهُ : وَمَا هَذِهِ النُّكْتَةُ فِيهَا ، قَالَ : هِيَ السَّاعَةُ وَهِيَ تَقُومُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَهُوَ عِنْدَنَا سَيِّدُ الْأَيَّامِ الَّتِي اخْتَارَهَا ، وَنَحْنُ نَدْعُوهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَوْمَ الْمَزِيدِ
Aku bertanya lagi, “Apa titik hitam ini?” Jibril menjawab, “Ini adalah kiamat, yang akan terjadi di hari Jumat. Hari ini merupakan pemimpin hari yang lain menurut kami. Kami menyebutnya sebagai “yaumul mazid”, hari tambahan pada hari kiamat.”
قَالَ : قُلْتُ : مِمَّ ذَاكَ ؟
Aku bertanya, “Apa sebabnya?”
قَالَ : لِأَنَّ رَبَّكَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى اتَّخَذَ فِي الْجَنَّةِ وَادِيًا مِنْ مِسْكٍ أَبْيَضَ فَإِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ هَبَطَ مِنْ عِلِّيِّينَ عَلَى كُرْسِيِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى ثُمَّ حُفَّ الْكُرْسِيُّ بِمَنَابِرَ مِنْ ذَهَبٍ مُكَلَّلَةٍ بِالْجَوَاهِرِ
Jibril menjawab, “Karena Rabbmu, Allah, menjadikan satu lembah dari minyak wangi putih. Apabila hari Jumat datang, Dia Dzat yang Mahasuci turun dari illiyin di atas kursi-Nya. Kemudian, kursi itu dikelilingi emas yang dihiasi dengan berbagai perhiasan.
ثُمَّ يَجِيءُ النَّبِيُّونَ حَتَّى يَجْلِسُوا عَلَيْهَا وَيَنْزِلُ أَهْلُ الْغُرَفِ حَتَّى يَجْلِسُوا عَلَى ذَلِكَ الْكَثِيبِ
Kemudian, datanglah para nabi, dan mereka duduk di atas mimbar tersebut. Kemudian, datanglah para penghuni surga dari kamar mereka, lalu duduk di atas bukit pasir.
ثُمَّ يَتَجَلَّى لَهُمْ رَبُّهُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى ، ثُمَّ يَقُولُ : سَلُونِي أُعْطِكُمْ ، قَالَ : فَيَسْأَلُونَهُ الرِّضَا ، فَيَقُولُ : رِضَائِي أُحِلُّكُمْ دَارِي وَأُنِيلُكُمْ كَرَامَتِي فَسَلُونِي أُعْطِكُمْ ، قَالَ : فَيَسْأَلُونَهُ الرِّضَا ، قَالَ : فَيُشْهِدُهُمْ أَنَّهُ قَدْ رَضِيَ عَنْهُمْ
Kemudian, Rabbmu, Allah, Dzat yang Mahasuci lagi Mahatinggi, menampakkan diri-Nya kepada mereka, dan berfirman, “Mintalah, pasti Aku beri kalian!” Maka mereka meminta ridha-Nya. Allah pun berfirman, “Ridha-Ku adalah Aku halalkan untuk kalian rumah-Ku, dan Aku jadikan kalian berkumpul di kursi-kursi-Ku. Karena itu, mintalah, pasti Aku beri!” Mereka pun meminta kepada-Nya. Kemudian Allah bersaksi kepada mereka bahwa Allah telah meridhai mereka.
قَالَ : فَيُفْتَحُ لَهُمْ مَا لَمْ تَرَ عَيْنٌ ، وَلَمْ تَسْمَعْ أُذُنٌ ، وَلَمْ يَخْطُرْ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ ، قَالَ : وَذَلِكُمْ مِقْدَارُ انْصِرَافِكُمْ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ
Akhirnya, dibukakanlah sesuatu untuk mereka, yang belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati seseorang. Dan itu terjadi selama kegiatan kalian di hari jumat
ثُمَّ يَصْعَدُ عَلَى كُرْسِيِّهِ ، وَيَصْعَدُ مَعَهُ الصِّدِّيقُونَ وَالشُّهَدَاءُ ، وَيَرْجِعُ أَهْلُ الْغُرَفِ إِلَى غُرَفِهِمْ دُرَّةٌ بَيْضَاءُ لا فَصْمٌ فِيهِ وَلا نَظْمٌ ، أَوْ يَاقُوتَةٌ حَمْرَاءُ ، أَوْ زَبَرْجَدَةٌ خَضَرَاءُ فِيهَا غُرَفُهَا وَأَبْوَابُهَا ، مُطَّرِدَةٌ فِيهَا أَنْهَارُهَا ، مُتَذَلِّلَةٌ فِيهَا أَثْمَارُهَا ، فِيهَا أَزْوَاجُهَا وَخَدَمُهَا
Kemudian (Allah) naik ke atas kursiNya, lalu naiklah para syuhadaa’ dan shiddiqin. dan para penghuni kamar-kamar surga kembali ke kamar-kamar mereka yang terbuat dair mutiara putih, tanpa ada keretakan dan aib, atau dari permata yaqut merah atay zamrud hijau. Kamar dan pintunya terbuat darinya. Sungai-sungai tak henti-hentinya mengalir dan buah-buahannya bergelatungan, dan didalamnya terdapat para istri dan pelayang.
قَالَ : فَلَيْسُوا إلَى شَيْءٍ أَحْوَجَ مِنْهُمْ إلَى يَوْمِ الْجُمُعَةِ لِيَزْدَادُوا إلَى رَبِّهِمْ نَظَرًا ، وَلِيَزْدَادُوا مِنْهُ كَرَامَةً
sehingga tidak ada yang lebih mereka nantikan, melebihi hari Jumat, agar mereka bisa semakin sering melihat Rabb mereka dan mendapatkan tambahan kenikmatan dari-Nya
(H.r. Ibnu Abi Syaibah, Thabrani dalam Al-Ausath, Abu Ya’la dalam Al-Musnad, dikatakan syaikh al-albaaniy sanadnya “hasan li ghayrihi” dalam Shahiih at targhiib wat tarhiib no. 3761)
3. Shalat paling utama disisi Allah adalah shalat shubuh di hari jum’at dengan berjama’ah
إن أفضل الصلاة عند الله صلاة الصبح يوم الجمعة في جماعة.
“Sesungguhnya seafdhal-afdhal shalat disisi Allah, adalah shalat shubuh di hari jum’at dengan berjama’ah”
(HR Abu Nu’aym, dishahihkan al Albani rahimahullah dalam Silsilatul Ahaadits Shahiihah, no.1566 (4/91) dan Shahiih Jaami’ ash-Shaghir no.1999.)
4. Waktu yang mustajab untuk berdo’a ada pada hari jum’at
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut hari jum’at lalu beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ فِي الْجُمُعَةِ لَسَاعَةً لاَ يُوَافِقُهَا مُسْلِمٌ قَائِمٌ يُصَلِّيْ يَسْأَلُ اللهَ خَيْراً إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ، قَالَ: وَهِيَ سَاعَةٌ خَفِيْفَةٌ.
Di hari jum’at itu terdapat satu waktu yang jika seseorang muslim melakukan shalat di dalamnya dan memohon sesuatu kepada Allah Ta’ala, niscaya permintaannya akan dikabulkan.”
Lalu beliau memberi isyarat dengan tangannya yang menunjukkan sedikitnya waktu itu.
(HR. Bukhari Muslim)
Namun mengenai penentuan waktu, para ulama berselisih pendapat. Diantara pendapat-pendapat tersebut ada 2 pendapat yang paling kuat:
a. Waktu itu dimulai dari duduknya imam sampai pelaksanaan shalat jum’at
Dari Abu Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata padanya,
Apakah engkau telah mendengar ayahmu meriwayatkan hadits dari Rasulullah sehubungan dengan waktu ijaabah pada hari jum’at?
Lalu Abu Burdah mengatakan,
“Aku mendengar Rasulullah bersabda,
Yaitu waktu antara duduknya imam sampai shalat dilaksanakan.’”
(HR. Muslim)
Imam Nawawi rahimahullah menguatkan pendapat di atas. Sedangkan Imam As-Suyuthi rahimahullah menentukan waktu yang dimaksud adalah ketika shalat didirikan.
b. Batas akhir dari waktu tersebut hingga setelah ‘ashar
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَوْمُ الْجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً لاَ يُوْجَدُ فِيْهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللهَ شَيْئاً إِلاَّ آتَاهُ إِيَّاهُ، فَالْتَمِسُوْهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ.
Hari jum’at itu dua belas jam. Tidak ada seorang muslimpun yang memohon sesuatu kepada Allah dalam waktu tersebut melainkan akan dikabulkan oleh Allah. Maka peganglah erat-erat (ingatlah bahwa) akhir dari waktu tersebut jatuh setelah ‘ashar.
(HR. Abu Dawud)
Dan yang menguatkan pendapat kedua ini adalah Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, beliau mengatakn bahwa,
Ini adalah pendapat yang dipegang oleh kebanyakan generasi salaf dan banyak sekali hadits-hadits mengenainya.”
5. Dosa-dosanya diampuni antara jum’at tersebut dengan jum’at sebelumnya
Dari Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:
“Tidaklah seseorang mandi pada hari jum’at dan bersuci semampunya, berminyak dengan minyak, atau mengoleskan minyak wangi dari rumahnya, kemudian keluar (menuju masjid), dan dia tidak memisahkan dua orang (yang sedang duduk berdampingan), kemudian dia mendirikan shalat yang sesuai dengan tuntunannya, lalu diam mendengarkan (dengan seksama) ketika imam berkhutbah melainkan akan diampuni (dosa-dosanya yang terjadi) antara jum’at tersebut dan jum’at berikutnya.”
(HR. Bukhari)
Adab hari jum’at sesuai sunnah Råsulullåh (ﷺ)
Berikut ini beberapa adab yang harus diperhatikan bagi setiap muslim yang ingin menghidupkan syariat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Jumat.
1. Memperbanyak Sholawat Nabi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,
Sesungguhnya hari yang paling utama bagi kalian adalah hari Jumat, maka perbanyaklah sholawat kepadaku di dalamnya, karena sholawat kalian akan ditunjukkan kepadaku
Para sahabat berkata:
Bagaimana ditunjukkan kepadamu sedangkan engkau telah menjadi tanah?
Nabi bersabda:
Sesungguhnya Allah mengharamkan bumi untuk memakan jasad para Nabi.”
(Shohih. HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, An-Nasa’i)
Shalawat yang syar’i yaitu:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الأُمِّيِّ
“Allahumma sholli ‘ala Muhammad an nabiyyil ummiyyi.
[Ya Allah, berilah shalawat kepada Muhammad Nabi yang Ummi]”
(Fadhlu Ash Sholah ‘alan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam no. 60. Syaikh Al Albani mengomentari bahwa hadits ini shohih)
atau
اللَّهُمَّ صّلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ اِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
“Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad kama shollaita ‘ala ali Ibrahim, innaka hamidun majid”
[Ya Allah, berilah shalawat kepada Muhammad dan kerabatnya karena engkau memberi shalawat kepada kerabat Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia]
atau
اللّهُمَّ صّلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ
Allåhumma shålli ‘alaa muhammad wa ‘alaa ali muhammad,
كَمَا صَلَيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
kamaa shålayta ‘alaa ibråhiim wa ‘alaa ali ibråhiim innaka hamidum majiid,
اللهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ
Allåhumma baarik ‘alaa muhammad wa ‘alaa ali muhammad,
كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
kamaa baaråkta ‘alaa ibrohiim wa ‘alaa ali ibråhiim innaka hamidum majiid
artinya:
Ya, Allah curahkanlah shalawat kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah curahkan shalawat kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.
Ya Allah, curahkanlah barakah kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah curahkan barakah kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.”
(HR. Al Bukhari dan Muslim)
2. Mandi Jumat
Mandi jum’at adalah termasuk sesuatu yang disyari’atkan, dan memiliki keutamaan yang besar.
Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rosulullah shalllaahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ غُسْلَ اْلجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنمَّاَ قَرَّبَ بَدَنَةً وَ مَنْ رَاحَ فىِ السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنمَّاَ قَرَّبَ بَقَرَةً وَ مَنْ رَاحَ فىِ السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنمَّاَ قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ وَ مَنْ رَاحَ فىِ السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنمَّاَ قَرَّبَ دَجَاجَةً وَ مَنْ رَاحَ فىِ السَّاعَةِ اْلخَامِسَةِ فَكَأَنمَّاَ قَرَّبَ بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ اْلإِمَامُ حَضَرَتِ اْلمـَلاَئِكَةُ يَسْتَمِعُوْنَ الذِّكْرَ
“barangsiapa MANDI hari jum’at seperti mandi janabat kemudian berangkat maka seolah-olah ia berkurban seekor unta. Barangsiapa yang berangkat pada saat yang kedua maka seolah-olah ia berkurban seekor sapi. Barangsiapa berangkat pada saat yang ketiga maka seolah-olah ia berkurban seekor kambing yang dewasa. Barangsiapa yang berangkat pada waktu yang keempat maka seolah-olah ia berkurban seekor ayam. Dan barangsiapa yang berangkat pada saat yang kelima maka seolah-olah ia berkurban sebutir telur. Maka apabila imam telah keluar maka para malaikat hadir untuk mendengarkan khutbah”.
[Telah mengeluarkan hadits ini al-Bukhaariy dan selainnya].
Dari Abu Dzarr, dari Nabi shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ فَأَحْسَنَ غُسْلَهُ وَ تَطَهَّرَ فَأَحْسَنَ طَهُوْرَهُ وَ لَبِسَ مِنْ أَحْسَنِ ثِيَابِهِ وَ مَسَّ مَا كَتَبَ اللهُ لَهُ مِنْ طِيْبِ أَهْلِهِ ثُمَّ أَتَى اْلجُمُعَةَ وَ لَمْ يَلْغُ وَ لَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ اثْنَيْنِ غُفِرَ لَهُ مِنْ بَيْنِهِ وَ بَيْنَ اْلجُمُعَةِ اْلأُخْرَى
“Barangsiapa MANDI pada hari jum’at lalu ia membaguskan mandinya, bersuci lalu ia membaguskan bersucinya, memakai dari pakaian yang terbagusnya, menggunakan wewangian keluarganya yang telah ditetapkan oleh Allah untuknya. Kemudian ia mendatangi jum’at, tidak berbicara dan tidak pula memisahkan antara dua orang (yang sedang duduk) maka diampuni baginya (dosa-dosanya) antaranya dan antara jum’at berikutnya”.
[Hadits Hasan, diriwayatkan Ibnu Majah, dihasankan Syaikh al Albaaniy].
Dari Salman al-Farisiiy, ia berkata, “telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alayhi wa sallam:
لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ وَ يَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ وَ يَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ أَوْ يَمَسُّ طِيْبِ بَيْتِهِ ثُمَّ يُخْرُجُ فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ اْلإِمَامُ إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَ بَيْنَ اْلجُمُعَةِ اْلأُخْرَى
Tidaklah seseorang MANDI pada hari jum’at, bersuci apa yang ia sanggupi dari bersuci, menyemprotkan wewangian dari wewangiannya atau menggunakan harum-haruman rumahnya kemudian ia keluar serta tidak memisahkan antara dua orang lalu ia sholat apa yang telah ditetapkan untuknya kemudian ia diam ketika imam berbicara (berkhutbah)… melainkan diampuni baginya apa yang di antaranya dan antara jum’at berikutnya”.
[Telah mengeluarkan hadits ini al-Bukhoriy: 883, 910. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Mukhtashor Shahiih al-Imaam al-Bukhooriy: 473, Shahiih al-Jaami’ ash-Shahiir: 7736, Shahiih at-Targhiib wa at-Tarhiib: 689 dan Misykaah al-Mashoobiih: 1381].
Dari Aus bin Aus ats-Tsaqofiy, ia berkata, ”aku pernah mendengar Nabi shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ وَ اغْتَسَلَ وَ بَكَّرَ وَ ابْتَكَرَ وَ مَشَى وَ لَمْ يَرْكَبْ وَ دَنَا مِنَ اْلإِمَامِ فَاسْتَمَعَ وَ لَمْ يَلْغُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ أَجْرُ صِيَامِهَا وَ قِيَامِهَا
”barangsiapa menjimak (istrinya)* pada hari jum’at dan MANDI (dari sebabnya), bersegera datang dan bergegas, berjalan dan tidak berkendaraan, menyimak dan tidak berbicara maka baginya setiap langkahnya sebanding dengan amalan setahun pahala shoum dan menegakkannya”.
[HR. Ibnu Majah, Abu Dawud, Tirmidizy, dan selainnya, dishahiihkan syaikh al albaaniy].
* [Perkataan غسّل yaitu menjimak istrinya lalu ia membutuhkan mandi. Yang demikian itu agar lebih menjaga (pandangan) di dalam perjalanannya apabila ia keluar menuju jum’at dan mandi setelah berjimak. Dan بكّر yaitu mendatangi sholat di awal waktunya dan ابتكر (bergegas) untuk mendapatkan awal khutbah. Catatan kaki dari Misykaah al-Mashoobiih: I: 437 dan Shahiih at-Targhiib wa at-Tarhiib: I: 290. Baca pula Bahjah an-Naazhiriin: II: 318]
Adapun hukumnya, maka ia adalah SUNNAH MU’AKKADAH bagi setiap muslim pria yang telah baligh, yang diwajibkan shalat jum’at padanya. Sedangkan waktunya adalah sebelum berangkat sholat Jumat.
Dalil-dalilnya adalah:
dari Abu Hurairah radliyallah ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا
“Barangsiapa berwudhu’, lalu memperbagus (menyempurnakan) wudlunya, kemudian mendatangi shalat Jum’at dan dilanjutkan mendengarkan dan memperhatikan khutbah, maka dia akan diberikan ampunan atas dosa-dosa yang dilakukan pada hari itu sampai dengan hari Jum’at berikutnya dan ditambah tiga hari sesudahnya. Barangsiapa bermain-main krikil, maka sia-sialah Jum’atnya.” (HR. Muslim)
Di dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya menyebutkan wudhu’ dan hanya menfokuskan padanya, tidak pada mandi, lalu menilainya sah sekaligus menyebutkan pahala yang diperoleh dari hal tersebut. Dengan demikian, hal itu menunjukkan wudlu’ saja sudah cukup dan tidak perlu mandi. Dan bahwasanya mandi itu bukan sesuatu yang wajib, tetapi Sunnah Mu’akkadah.
Imam al Nawawi rahimahullah, dalam Syarh Shahih Muslim, ketika memberikan syarah hadits, “siapa yang mandi kemudian mendatangi Jum’at, lalu shalat sebagainya yang dia mampu, lalu memperhatikan khutbah hingga selesai, lalu shalat bersama Imam, maka diberi ampunan untuknya pada hari itu sampai dengan hari Jum’at berikutnya dan ditambah tiga hari sesudahnya,” beliau menyitir riwayat di atas. Kemudian berkata, “di dalam hadits (pertama) terdapat keutamaan mandi. Dan itu bukan hal yang wajib berdasarkan riwayat kedua. Di dalamnya terdapat anjuran berwudlu’ dan memperbagusnya.”
Dari Samurah bin Jundub berkata, ”Rosulullah shallalaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ اْلجُمُعَةَ فَبِهَا وَ نِعْمَتْ وَ مَنِ اغْتَسَلَ فَاْلغُسْلُ أَفْضَلُ
”barangsiapa berwudlu pada hari jum’at maka ia telah mendapatkan sunnah dan juga kebaikannya. Dan barangsiapa yang mandi maka mandi itu lebih utama”.
[Telah mengeluarkan hadits ini at-Tirmidziy: Abu Dawud, an Nasaa-iy, Ibnu Maajah, Ahmad, dan selainnya; dishahiihkan syaikh al albaaniy].
Ibnu Hajar mencantumkan hadits ini dalam Bulughul Maram sesudah hadits yang menunjukkan wajibnya mandi Jum’at. Dan berdasarkan hadits ini, Jumhur mendasarkan pendapat mereka.
Imam al Shan’ani dalam Subul al-Salam berkata, “hadits ini menjadi dalil tidak wajibnya mandi.”
Al-Mubarakfuri dalam Ithaf al Kiram berkata, “hadits ini menguatkan pendapat Jumhur bahwa mandi hari Jum’at tidak wajib.”
Dari Aisyah, bahwasanya ia berkata, “Manusia datang menghadiri jum’at dari rumah-rumah mereka yaitu dari al-Awaliy*. Mereka datang dengan mengenakan mantel dan debu juga menimpa mereka. Maka keluarlah bebauan dari mereka. Datanglah salah seorang dari mereka kepada Rosulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam, sedangkan Beliau ada di sisiku. Maka beliau bersabda,
لَوْ أَنَّكُمْ تَطَهَّرْتُمْ لِيَوْمِكُمْ هَذَا
”andaikan kalian bersuci (mandi) untuk hari kalian ini”.
[Telah mengeluarkan hadits ini Bukhaariy, dan selainnya].
*al-Awaliy adalah nama suatu tempat yang berjarak sekitar empat mill atau lebih dari kota Madinah. [Fath al-Baariy: II: 386]
Lafadz hadits ini memberikan pengertian bahwa mandi hari Jum’at itu bukan suatu yang wajib. Pengertian dari sabda beliau di atas adalah, “niscaya akan lebih baik dan lebih sempurna.” (Syarh Shahih Muslim: IV/382)
Rasuulullaah bersabda:
غُسْلُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ وَسِوَاكٌ وَيَمَسُّ مِنْ الطِّيبِ مَا قَدَرَ عَلَيْهِ
“Mandi hari Jum’at itu wajib bagi setiap orang yang bermimpi. Begitu pula dengan bersiwak dan memakai wewangian jika mampu melaksanaknnya (jika ada).”
(Muttafaq ‘alaih; al-Bukhari no. 880 dan Muslim no. 846)
Lahiriyah hadits ini menunjukkan bahwa memakai siwak dan wewangian adalah wajib. Padahal menurut kesepakatan yang ada tidak demikian. Hal itu menunjukkan bahwa sabda beliau “wajib” itu bukan makna yang sebenarnya. Namun, maksudnya adalah sunnah mu’akkadah. Sebab tidak dibenarkan penggabungan sesuatu yang wajib dan sesuatu yang tidak wajib dalam satu kata sambung wawu (artinya: dan). Wallaahu a’lam
(lihat al Mufhim Limaa Asykala Talkhiish Kitab Muslim, Imam al Qurtubi: II/479-480 ; Fathul Baari, Ibnul Hajar: II/356-364 ; dan Zaad al Ma’ad, Ibnul Qayyim: I/376-377)
Ibnu Qudamah berkata,
“tidak ada perbedaan mengenai disunnahkannya hal tersebut. Dalam hal itu terdapat banyak atsar shahih sehingga hal itu bukanlah sesuatu yang wajib menurut pendapat mayoritas ulama. Itu merupakan pendapat al Auza’i, al-Tsauri, Malik, al-Syafi’i, Ibnul Mundzir, dan Ashabul Ra’yi. Ada yang berpendapat yang demikian itu adalah ijma.”
(al Mughni, Ibnu Qudamah: III/225)
Imam Ibnu ‘Abdil Barr berkata,
“para ulama telah bersepakat bahwa mandi hari Jum’at bukan suatu yang wajib, kecuali satu kelompok dari penganut paham al-Dzahiriyah. Mereka mewajibkan dan bersikap keras dalam hal itu. Sedangkan di kalangan ulama dan fuqaha’ terdapat dua pendapat: salah satunya menyebut sunnah dan yang lainnya mustahab. Bahwasanya perintah mandi Jum’at itu karena suatu alasan sehingga ketika alasan itu sudah ditangani, gugurlah perintah tersebut. Sesungguhnya pemakaian wangi-wangian sudah cukup memadai.”
(al-Tamhiid: XIV/151-152)
Al-Hafidz Ibnu Rajab menyebutkan bahwa mayoritas ulama berpendapat bahwa, mandi hari Jum’at sunnah, bukan wajib. Telah diriwayatkan dari Umar, Utsman, Ibnu Mas’ud, ‘Aisyah, dan sahabat-sahabat lainnya. hal ini juga yang telah disampaikan Jumhur Fuqaha’ seperti al-Tsauri, al-Auza’i, Abu Hanifah, al-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. Selain itu juga diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dari Malik. Maka perintah mandi diartikan sebagai sesuatu yang sunnah.
(Fath al Baari, Ibnu Rajab: (VIII/78-82)
Syaikh Ibnu Bazz rahimahullah juga berpendapat bahwa mandi hari Jum’at hukumnya sunnah mu’akkadah. Beliau berkata,
“mandi hari Jum’at itu sunnah mu’akkadah, yang senantiasa harus dijaga seorang muslim dalam rangka keluar dari orang yang mewajibkannya. . . .
Yang benar adalah bahwa bahwa mandi hari Jum’at itu sunnah mu’akkadah.
Adapun sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Mandi Hari Jum’at itu wajib bagi setiap yang telah baligh,” maknanya menurut mayoritas ulama sudah sangat jelas sebagaimana ungkapan orang Arab: “janji itu hutang dan wajib bagiku untuk melunasinya.” Sebagian mereka mengemukakan: “Aku wajib memenuhi hak anda,” dan itu berarti penekanan.
Hal tersebut juga ditunjukkan oleh kebijakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sudah cukup dengan hanya memerintahkan berwudlu’ saja dalam beberapa hadits. Demikian halnya dengan memakai wewangian, bersiwak, mengenakan pakain terbagus, dan segera berangkat ke tempat pelaksanaan Jum’at (masjid). Semua itu merupakan hal yang sunah, memang dianjurkan, dan bukan suatu yang wajib.”
(disarikan dari fatwa-fatwa Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Bazz. Lihat Majmu’ Fatawa Syaikh bin Bazz (XII/404), al-Fataawa al-Islaamiyyah (I/419). DR. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al Qahthani dalam Shalatul Mukmin, mennuturkan keterangan Syaikh bin Bazz ini didengarnya beberapa kali saat mengupas Shahih Bukhari no. 818 dan seterusnya.)
Adapun tata cara mandi Jumat ini seperti halnya mandi janabah biasa.
Rasulullah bersabda:
مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ
Barang siapa mandi Jumat, (–hendaklah mandi seperti–) mandi janabah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
3. Menggunakan Pakaian Terbagus dan Minyak Wangi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,
مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاسْتَاكَ وَمَسّ مِنْ طِيبٍ إِنْ كَانَ عِنْدَهُ وَلَبِسَ مِنْ أَحْسَنِ ثِيَابِهِ ثُمَّ خَرَجَ حَتَّى يَأْتِيَ الْمَسْجِدَ فَلَمْ يَتَخَطَّ رِقَابَ النَّاسِ ثُمَّ رَكَعَ مَا شَاءَ أَنْ يَرْكَعَ ثُمَّ أَنْصَتَ إِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ فَلَمْ يَتَكَلَّمْ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ صَلَاتِهِ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الَّتِي قَبْلَهَا
“Barangsiapa mandi pada hari Jum’at, memakai pakaiannya yang terbagus dan memakai wewangian jika punya, kemudian mendatangi (shalat) Jum’at tanpa melangkahi orang-orang (yang sedang duduk), kemudian shalat (sunnah mutlak) sekuat kemampuan (yang Allah berikan padanya), kemudian diam seksama apabila imamnya datang (untuk berkhuthbah) sampai selesai shalatnya, maka itu menjadi penghapus dosa-dosa antara hari Jum’at tersebut dengan Jum’at yang sebelumnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Kemudian Abu Hurrayrah berkata:
“Dan itu masih ditambah dengan tiga hari, sesungguhnya Allah membalas satu kebaikan dengan sepuluh kebaikan yang semisal.”
4. Bersiwak
Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya membuat Bab khusus tentangditekankannya bersiwak pada hari Jum’at yaitu dalam dalam Kitabul Jumu’ati Bab Ath-Thibbi Lil Jumu’ati, no. 880 dan Bab As-Siwaki Yaumul Jumu’ati, no.hadits 887, 888, dan 889.
5. Tidak melakukan tahalluq (membuat halaqah-halaqah) atau pertemuan pengajian sebelum shalat Jum’at.
Didasarkan pada hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن الشراء والبيع في المسجد، وأن تُنشد فيه الضالة، وأن ينشد فيه الشِّعر، ونهى عن التحلق مثل الصلاة يوم الجمعة.
“Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli di dalam masjid, mengumumkan barang yang hilang, melantunkan syair, dan beliau juga melarang mengadakan halaqah-halaqah sebelum shalat Jum’at”.
[Shahih; diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1079 dan yang lainnya. ]
Tahalluq di sini mempunyai dua makna, yaitu secara lughawiy (bahasa) dan syar’iy (syari’at). Makna secara lughawiy dari tahalluq adalah : sekumpulan orang yang duduk melingkar seperti lingkaran pintu. Sedangkan tahalluq adalah bentuk aktif dari kata halaqah yang artinya sengaja melakukan hal itu.
Sedangkan istilah syar’iy : berkumpul untuk satu pelajaran (pengajian) walaupun ia tidak duduk secara melingkar. Dan kedua arti ini masuk dalam larangan hadits. [Lihat : Al-Lum’ah fii Hukmil-Ijtimaa’ li-Darsi Qablal-Jum’ah oleh Muhammad Musa Nashr.]
6. Bersegera Untuk Berangkat ke Masjid dan istirahat siang setelahnya
Abu Huråiråh rådhiyallåhu ‘anhu berkata bahwa,
“Nabi (ﷺ) bersabda,
إِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ كَانَ عَلَى كُلِّ بَابٍ مِنْ أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ مَلَائِكَةٌ يَكْتُبُونَ الْأَوَّلَ فَالْأَوَّلَ
“Apabila hari Jum’at telah tiba, para Malaikat berdiri di setiap pintu Masjid, mencatat orang yang pertama-tama datang dan seterusnya.
فَإِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ طَوَوْا الصُّحُفَ وَجَاءُوا يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ
Apabila Imam telah datang (naik mimbar), maka mereka pun menutup shuhuf (buku catatan) dan bersegera untuk mendengarkan khutbah.
وَمَثَلُ الْمُهَجِّرِ كَمَثَلِ الَّذِي يُهْدِي الْبَدَنَةَ
Perumpamaan orang yang pertama-tama datang adalah seperti berkorban dengan seekor unta.
ثُمَّ كَالَّذِي يُهْدِي بَقَرَةً
Kemudian orang yang datang sesudah itu, seperti orang yang berkurban dengan seekor lembu.
ثُمَّ كَالَّذِي يُهْدِي الْكَبْشَ
Kemudian seperti orang yang berkurban kibas.
ثُمَّ كَالَّذِي يُهْدِي الدَّجَاجَةَ
Kemudian seperti orang yang berkurban dengan seekor ayam.
ثُمَّ كَالَّذِي يُهْدِي الْبَيْضَةَ
Dan kemudian seperti orang yang berkurban dengan sebutir telur.”
(HR. Muslim)
Anas bin Malik berkata,
Kami berpagi-pagi menuju sholat Jumat dan tidur siang setelah sholat Jumat.”
(HR. Bukhari).
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata,
Makna hadits ini yaitu para sahabat memulai sholat Jumat pada awal waktu sebelum mereka tidur siang, berbeda dengan kebiasaan mereka pada sholat zuhur ketika panas, sesungguhnya para sahabat tidur terlebih dahulu, kemudian sholat ketika matahari telah rendah panasnya.”
(Lihat Fathul Bari II/388)
6. Berjalan kaki ke masjid, kecuali jika ada hajat
Dari Aus bin Aus, bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
من اغتسل يوم الجمعة وغسَّل، وغدا وابتكر، ومشى ثم لم يركب، ودنا من الإمام، وأنصت ولم يلغ : كان له بكل خطوة عمل سنة صيامها وقيامها
“Barangsiapa yang mandi dan keramas pada hari Jum’at, bersegera pergi (menuju masjid) dengan berjalan kaki tanpa berkendaraan, mendekat kepada imam, diam dan tidak berkata-kata sia-sia : maka baginya pada setiap langkahnya itu pahala amal setahun, (yaitu) puasa dan shalatnya”.
[Shahih; diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 496, An-Nasa’iy (3/95), Abu Dawud no. 345, dan Ibnu Majah no. 1087]
*untuk pertimbangan pengamalan hadits ini, semoga artikel berikut bermanfaat: “Panduan dalam memilih masjid
Dari ‘Ubaayah bin Rifaa’ah, ia berkata : “Abu ‘Absin pernah mendapatiku ketika aku hendak pergi menuju shalat Jum’at. Maka ia berkata : “Aku pernah mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ اغْبَرَّتْ قَدَمَاهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ
‘Barangsiapa yang kakinya berdebu di jalan Allah, niscaya Allah akan haramkan baginya api neraka”
[Shahih; diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 907]
7. Tidak tergesa-gesa ketika datang ke masjid
Råsulullah shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda, yang artinya
إِذَا أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا تَأْتُوهَا تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا تَمْشُونَ عَلَيْكُمْ السَّكِينَةُ
“Jika shalat sudak ditegakkan (iqamatnya) janganlah kalian mendatnginya dengan tergesa-gesa. Datangilah dengan berjalan tenang.”
[HR. Bukhariy]
Dalam riwayat Abu Dawud,
إِذَا سَمِعْتُمُ اْلإِقَامَةَ فَامْشُوْا إِلَى الصَّلاَةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِيْنَةِ وَالْوَقَارِ.
“Jika kalian mendengar iqamat, maka berjalanlah menuju shalat dengan tenang dan perlahan-lahan (tidak terburu-buru.”
[HR Abu Dawud, no. 343. Lihat Shahih Al Jami’, no. 6066]
8. Shalat sunnah tahiyatul masjid
Råsulullah shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda, yang artinya
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ
Jika seorang dari kalian masuk masjid, maka shalatlah dua raka’at sebelum ia duduk.
(Bukhåriy-Muslim)
Råsulullah shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda, yang artinya
إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاْلإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيْهِمَا.
Jika seorang dari kalian datang (untuk) pada hari Jum’at sementara imam sedang berkhuthbah, maka shalatlah dua raka’at, dan ringankanlah shalatnya tersebut.
(Bukhåriy-Muslim)
9. Sholat Sunnah Ketika Menunggu Imam atau Khatib
Abu Huroiroh radhiallahu ‘anhu menuturkan bahwa Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ اغْتَسَلَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَصَلَّى مَا قُدِرَ لَهُ ثُمَّ أَنْصَتَ حَتَّى يَخْلُوَ مِنْ خُطْبَتِهِ ثُمَّ يُصَلِّي مَعَهُ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ اْلأُخْرَى وَفَضْلُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ.
Barang siapa mandi kemudian datang untuk sholat Jumat, lalu ia sholat semampunya dan dia diam mendengarkan khotbah hingga selesai, kemudian sholat bersama imam maka akan diampuni dosanya mulai jum’at ini sampai jum’at berikutnya ditambah tiga hari.”
(HR. Muslim)
10. Tidak ada qabliyah jum’at
Syaikh Wahid bin ‘Abdis Salam Baali. berkata:
“Di antara kaum muslimin ada yang setelah mendengar adzan pertama, langsung berdiri dan mengerjakan shalat dua rakaat sebagai shalat sunnah Qabliyah Jum’at.
Dalam hal ini perlu saya katakan, saudaraku yang mulia, shalat Jum’at itu tidak memiliki shalat sunnah Qabliyah, tetapi yang ada adalah shalat Ba’diyah Jum’at.”
(kemudian beliau mengutip perkataaan Syaikh al-Albaniy):
Al-Albani rahimahullah mengatakan:
“Semua hadits yang diriwayatkan berkenaan dengan shalat sunnah Qabliyah Jum’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak ada yang shahih sama sekali, yang sebagian lebih dha’if dari sebagian yang lain” [Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 232)]
[Disalin ALMANHAJ dari kitab kitab al-Kali-maatun Naafi’ah fil Akhthaa' asy-Syaai’ah, Bab “75 Khatha-an fii Shalaatil Jumu’ah.” Edisi Indonesia 75 Kesalahan Seputar Hari dan Shalat Jum’at; Karya Wahid bin ‘Abdis Salam Baali. Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
11. Mendekati khåtib untuk mendengarkan khutbah
Råsulullah shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda, yang artinya
احْضُرُوا الذِّكْرَ وَادْنُوْا مِنَ اْلإِمَامِ فَإِنَّ الرَّجُلَ لاَ يَزَالُ يَتَبَاعَدُ حَتَّى يُؤَخَّرُ فِي الْجَنَّةِ وَإِنْ دَخَلَهَا.
Hadirilah khutbah dan mendekatlah kepada imam (khatib), karena seseorang yang terus menjauh (dari imam), sehingga dia akan diakhirkan (masuk) ke dalam surga meskipun ia (akan) memasukinya.”
(Shåhiyh, HR. Abu Dawud)
Råsulullah shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda, yang artinya
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا
Barangsiapa berwudhu’ lalu dia melakukannya dengan sebaik-baiknya, kemudian dia mendatangi shalat Jum’at, dilanjutkan dengan mendengar (dan memperhatikan) khutbah tanpa berkata-kata (diam), maka dia akan diberikan ampunan atas dosa yang dilakukan antara hari itu sampai pada hari Jum’at berikutnya dan ditambah dengan tiga hari. Dan barangsiapa yang memegang-megang batu kerikil, maka ia telah berbuat kesia-siaan
(HR. Muslim)
12. Diam ketika mendengarkan khutbah (tidak berbicara dan tidak berbuat sia-sia)
Råsulullah shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda, yang artinya
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ فَقَدْ لَغَوْتَ
Jika kamu berkata kepada temanmu “diam” ketika imam berkhutbah, maka kamu telah berbuat sia-sia (yakni rusak pahala Jum’atnya).”
(HR. Bukhåriy-Muslim)
Dari Jabir bin ‘Abdullah, Dia berkata,
‘Abdullah bin Mas’ud pernah memasuki masjid ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah berkhutbah. Lalu ia duduk di samping Ubay bin Ka’ab. Kemudian dia bertanya kepada Ubay tentang sesuatu atau mengajaknya berbicara tentang sesuatu, tetapi Ubay tidak menjawabnya. Ibnu Mas’ud mengira Ubay marah.
Setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai menunaikan shalatnya, Ibnu Mas’ud berkata,
Wahai Ubay, apa yang menghalangimu untuk memberi jawaban kepadaku?
Dia menjawab, “Sesungguhnya engkau tidak menghadiri shalat Jum’at bersama kami.”
Memangnya kenapa?”, tanya Ibnu Mas’ud.
Ubay menjawab, “Engkau telah berbicara sementara Nabi tengah berkhutbah.”
Maka Ibnu Mas’ud berdiri dan masuk menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya menceritakan hal tersebut kepada beliau, maka beliau pun bersabda, “Ubay benar, Ubay benar, taatilah Ubay.”
(Hasan, HR. Abu Ya’la)
Råsulullah shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda,
وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا
Barangsiapa yang memegang batu kerikil berarti dia telah lengah (berbuat sia-sia)
(HR. Muslim)
Perbuatan sia-sia disini bermakna umum, tidak hanya khusus bermain-main dengan kerikil saja. Syaikh Wahid bin ‘Abdis Salam Baali bahkan mengatakan bahwa banyak kaum muslimin perbuatan sia-sia pada saat khutbah, seperti bersiwak dan bersalaman dengan orang disebelahnya (baca: almanhaj.or.id)
13. Menghadapkan wajah pada imam saat menyampaikan khutbah.
Disunnahkan bagi makmum untuk menghadapkan wajahnya kepada imam saat menyampaikan khutbah. Tidak ada riwayat shahih marfu’ yang menjadi dasar, namun telah tsabit dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma :
“Bahwasannya ketika imam tidak sedang duduk, maka ia (Ibnu ‘Umar) menghadapkan wajah kepadanya.”
[Hasan; diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq no. 5391, dan dari jalan Ibnul-Mundzir (4/74), serta dan Al-Baihaqi (3/199)]
Dari Anas bahwasannya ketika ia datang (ke masjid) pada hari Jum’at, maka ia bersandar ke sebuah tiang menghadap kepada imam”.
At-Tirmidzi berkata (2/283) :
“Para ulama dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan yang lainnya mengamalkan hadits ini, yaitu menyukai untuk menghadap imam ketika ia sedang berkhutbah”
14. Tidak Duduk dengan Memeluk Lutut Ketika Khatib Berkhotbah
Sahl bin Mu’ad bin Anas mengatakan bahwa Rasulullah melarang Al Habwah (duduk sambil memeluk lutut) pada saat sholat Jumat ketika imam sedang berkhotbah.
(Hasan. HR. Abu Dawud, Tirmidzi)
15. Bergeser dari tempat duduk bila mengantuk.
Dari Ibnu ‘Umar ia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ فَلْيَتَحَوَّلْ مِنْ مَجْلِسِهِ ذَلِكَ إِلَى غَيْرِهِ
“Apabila salah seorang di antara kalian mengantuk (di tempat duduknya pada hari Jum’at), hendaklah ia bergeser dari tempt duduknya itu (ke tempat yang lain)”.
[Hasan dengan keseluruhan jalannya; diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1119, At-Tirmidzi no. 526, Ahmad (2/22), dan yang lainnya.]
Hikmah yang terkandung pada perintah bergeser/pindah dari tempatnya semula adalah bahwa dengan bergerak akan menghilangkan rasa kantuk. Atau mungkin hikmahnya adalah berpindah dari tempat yang membuatnya lalai dengan kantuknya tersebut. Hal itu apabila ia tidak merasa berat untuk melakukannya.[Nailul-Authaar (3/298]]
16. Tidak melangkahi pundak-pundak kaum muslimin
Råsulullah shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda, yang artinya
ومن لغا وتخطَّى رقاب الناس، كانت له ظهرًا
Barangsiapa lengah dan melangkahi pundak orang-orang, maka baginya shalat Zhuhur.”
(Hasan, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaymah)
Telah berkata al-Imam an-Nawawi,
“Orang yang masuk masjid, baik pada hari Jum’at atau selainnya dilarang melangkahi tengkuk saudaranya, kecuali jika sangat terpaksa (darurat).” (al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab 4/546)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga mengatakan,
“Tidak boleh bagi siapa saja melangkahi pundak seorang muslim untuk mendapatkan shaf pertama jika di dekatnya tidak ada celah yang dapat diisi baik pada hari Jum’at atau lainnya. Karena hal itu merupakan perbuatan zhalim dan kedurhakaan kepada Allahsubhanahu wata’ala (al-Ikhtiyarat hal 87).
Syaikh Abdullah bin Shalih al-Fauzan Hafizhahullah berkata,
“Sebagian ulama mengatakan makruh perbuatan ini, dan sebagian yang lain mengharamkannya sebagaimana dikatakan al-Imam an-Nawawi dan Syaikhul Islam. Namun keharaman ini dikecualikan jika orang yang datang lebih dahulu tidak menempati shaf awal, dan membiarkan shaf depan ada celah. Maka dalam hal ini bolehseseorang melangkahi pundak dalam rangka menyempurnakan shaf dan menutup celah yang kosong. Wallahu a’lam.
17. Tidak Mendesak Orang Lain ketika Shalat
Tidak diragukan lagi bahwa terlalu berdesakan ketika shalat menyebabkan hilang atau berkurangnya kekhusyu’an. Pemandangan seperti ini terjadi khususnya pada hari Jum’at, ketika malam bulan Ramadhan dan semisalnya. Kesalahan ini biasanya dilakukan oleh orang yang datang terlambat namun ingin berada di shaf depan, bahkan tak segan-segan menerobos shaf dengan menggunakan kekuatan ototnya.
Terlalu berdesakan akan menyebabkan orang tidak dapat meletakkan kedua tangannya di dada dengan baik ketika shalat, dan menyebabkan saling berhimpitan terutama ketika sedang duduk atau tahiyat. Dan yang jelas sikap nylonong atau menerobos shaf yang sudah rapat adalah perbuatan merebut hak orang lain dan tidak menghormati jama’ah yang datang lebih awal. Memang benar shaf awal adalah sangat utama, namun mengganggu sesama muslim adalah perbuatan haram. Dan meninggalkan yang haram harus didahulukan daripada mengejar keutamaan.
Yang dituntut bagi seorang muslim adalah hendaknya melapangkan shaf untuk orang lain apabila memungkinkan. Jangan sampai mangambil tempat melebihi dari kebutuhannya dan merasa berat untuk memberi tempat kepada saudaranya padahal masih memungkinkan. Namun bagi yang datang lebih belakang atau terlambat juga harus bersikap toleran dan lemah lembut kepada saudaranya. Hendaknya jangan membuat sempit tempat saudaranya jika shaf tersebut memang sudah tidak mungkin lagi untuk diisi. Islam mengajarkan agar seseorang duduk di belakang atau tempat mana saja yang kosong apabila sudah tidak ada tempat lagi untuk diduduki.
18. Tidak membuat orang berdiri kemudian duduk di tempatnya.
Dari Jaabir, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :
لا يقيمن أحدكم أخاه يوم الجمعة ثم يخالف إلى مقعده فيقعد فيه، ولكن يقول : أفسحوا
“Janganlah salah seorang di antara kalian membuat berdiri saudaranya pada hari Jum’at, kemudian ia menggantikannya duduk di tempat duduknya. Namun hendaknya ia mengatakan : ‘Bergeserlah…”.
[Shahih; diriwayatkan oleh Muslim no. 2177 dan Ahmad (3/295). Dan yang semisal dengannya terdapat dalam Shahihain dari hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma]
Perkataan beliau : “bergeserlah” dilakukan selama imam belum berbicara (dalam khutbahnya). Namun jika sudah berbicara, maka ia memberikan isyarat kepadanya.
19. Tidak Membaca al-Qur’an dengan Suara Keras
Membaca al-Qur’an di dalam masjid dengan suara keras, selain mengganggu orang yang sedang shalat juga mengganggu orang lain yang sedang membaca al-Qur’an. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang perbuatan itu melalui sebuah hadits dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhudia berkata,
“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamberi’tikaf di dalam masjid, beliau mendengar para shahabat membaca al-Qur’an dengan suara keras, maka beliau bersabda,


ان المصلي يناجي ربه، فلينظر بما يناجيه به . ولا يجحربعضكم على بعض بالقران

Sesungguhnya (orang yang) shålat itu sedang bermunajat kepad Råbbnya. Maka hendaklah ia memperhatikan munajatnya. Dan janganlah satu sama lain (saling) mengeraskan bacaan qur-aan-nya.
(HR. Ahmad, Abu Dawud dan lainnya)
Syaikhul Islam berkata,
“Tidak boleh bagi siapa pun mengeraskan suara ketika membaca baik di dalam shalat maupun di luar shalat, terutama ketika di dalam masjid karena hal itu dapat mengganggu orang lain.”
Dan ketika ditanya tentang mengeraskan bacaan al-Qur’an di dalam masjid, beliau menjawab,
“Segala perbuatan yang bisa mengganggu orang yang berada di dalam masjid atau yang mengarah pada perbuatan itu maka hal itu terlarang, wallahu a’lam.”
(al-Fatawa 23/61)
Adapun membaca dengan bersuara namun tidak terlalu keras dan tidak mengganggu orang lain maka hal itu dibolehkansebagaimana banyak tersebut di dalam hadits. Terutama jika yang bersangkutan merasa aman dari perbuatan riya’. Bahkan bisa jadi merupakan keharusan apabila dalam rangka belajar al-Qur’an. Karena tidak diragukan lagi bahwa mengeraskan bacaan dalam kondisi ini akan menggugah hati, menambah semangat dan memberikan manfaat bagi orang lain yang mendengarkannya.
(at-Tibyan, an-Nawawi hal 71)
Dalam shalat malam juga diboleh- kan mengeraskan bacaan selagi dapat menjaga diri dari riya’. Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar seseorang membaca sebuah surat dari al-Qur’an pada suatu malam, beliau bersabda,
رَحِمَهُ اللَّهُ لَقَدْ ذَكَّرَنِي آيَةً كُنْتُ أُنْسِيتُهَا
“Semoga Allah memberinya rahmat. Dia telah mengingatkanku akan suatu ayat, yang aku telah dilupakan daripadanya.”
(HR.al-Bukhari dan Muslim).
20. Tidak Lewat di Depan Orang Shalat
Syaikh Abdullah bin Shalih al-Fauzah berkata,
“Berjalan di depan orang shalat di antara dia dan sutrah (pembatas)nya adalah perbuatan haram, karena mengganggu dan mengacaukan konsentrasinya dalam bermunajat kepada Allah subhanahu wata’ala.
Perbuatan ini dilarang dengan keras dan pelakunya mendapatkan ancaman yang sangat berat, sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menjelaskan bahwa berdiri selama empat puluh (hari atau bulan atau tahun, perawi tidak tahu persis-red) adalah lebih baik daripada lewat di hadapan orang yang sedang shalat.
Oleh karena itu dibolehkan bagi yang sedang shalat untuk mencegah orang yang akan melewatinya, jika sekiranya masih ada jalan lain yang memungkinkan untuk dilewati. Karena dalam sebuah hadits yang bersumber dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya,
“Jika salah seorang diantara kalian shalat menghadap sutrah (yang menghalangi) orang (untuk lewat), lalu ada seseorang yang mau melewatinya maka tahanlah dia. Apabila menolak maka lawanlah dia karena dia adalah syetan.”
(HR.al-Bukhari dan Muslim)
21. Sholat Sunnah Setelah Sholat Jumat
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari – rahimahullah – (no. 1165) dan Muslim – rahimahullah (no. 729) dari hadits Ibnu ’Umar radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata :
“Aku pernah melaksanakan shalat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dua raka’at sebelum shalat Dhuhur, dua raka’at setelah shalat Dhuhur, dua raka’at setelah shalat Jum’at, dua raka’at setelah shalat Maghrib, dan dua raka’at setelah shalat ‘Isya’”.
Diriwayatkan oleh Muslim (no. 882)
ari hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
إذا صلى أحدكم الْجُمعة؛ فليصل بعدها أربعًا
Apabila kalian telah selesai mengerjakan sholat Jumat, maka sholatlah empat rakaat.”
Amr menambahkan dalam riwayatnya dari jalan Ibnu Idris, bahwa Suhail berkata,
Apabila engkau tergesa-gesa karena sesuatu, maka sholatlah dua rakaat di masjid dan dua rakaat apabila engkau pulang.”
(HR. Muslim, Tirmidzi)
Diriwayatkan oleh Muslim (no. 882) dari hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa :
“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melaksanakan shalat (sunnah) setelah shalat Jum’at hingga ia beranjak dari tempatnya. Maka beliau melaksanakan shalat (sunnah) dua raka’at di rumahnya”.
(HR. Muslim)
Maka shalat ba’diyah jum’at ada beberapa cara:
- Empat raka’at di mesjid (baik dengan sekali salam, maupun dua salam)
- Dua raka’at di mesjid + dua raka’at di rumah
- Dua raka’at di mesjid atau dirumah (dan dirumah lebih utama)
22. Membaca Surat al-Kahfi
Råsulullah shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda, yang artinya
Barang siapa yang membaca surat Al Kahfi pada hari Jumat maka Allah akan meneranginya di antara dua Jumat.”
(HR. Imam Hakim dalam Mustadrok, dan beliau menshahihkannya)
Adapun tentang membaca surat yaasin, maka hadits-haditsnya dhaif. Simak penjelasannya disini
Demikianlah sekelumit etika yang seharusnya diperhatikan bagi setiap muslim yang hendak menghidupkan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika di hari Jumat. Semoga kita menjadi hamba-Nya yang senantiasa di atas sunnah Nabi-Nya dan selalu istiqomah di atas jalan-Nya. aamiin.
Wallahu a’lam bish shåwwab
***
Maraji’:
- Kitab Do’a dan Wirid, al-Ustadz Yazid bin ‘Abdil Qadir Jawwas Hafizhåhullåh, Pustaka Imam Asy-Syafi’i
- Tafsir Ayat-Ayat Yaa Ayyuhal-ladziina Aamanuu, Pustaka Al-Kautsar
- Amalan dan Waktu yang Diberkahi, Pustaka Ibnu Katsir
- al-Kali-maatun Naafi’ah fil Akhthaa’ asy-Syaai’ah, Bab “75 Khatha-an fii Shalaatil Jumu’ah.” Edisi Indonesia 75 Kesalahan Seputar Hari dan Shalat Jum’at, Karya Wahid bin ‘Abdis Salam Baali. Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, dari almanhaj.or.id
- Majalah Al Furqon edisi 8 tahun II oleh Abu Abdirrohman Bambang Wahono
- Majalah al-Furqan edisi 2 tahun VII oleh al-Ustadz Arief Syarifuddin, Lc; dari almanhaj.or.id
- Dan Artikel www.muslim.or.id dan www.muslimah.or.id
- “Ahkam Hudhur al-Masajid”, Abdullah bin Shalih al-Fauzan, edisi Indonesia “Adab Masuk Masjid” Pustaka Azzam(hal 161-168) dengan penyesuaian bahasa. (Abu Ahmad); dari Blog-nya Ibnu Ja’far
- Yang Seharusnya Dilakukan Makmum Dari Keluar Rumah Saat Hendak Menunaikan Shalat Jum’at Hingga Khutbah Disampaikan oleh al-Akh Abul Jauzaa’
- “JUM’AT : HAKIKAT, KEUTAMAAN DAN SYARI’AT”, Oleh: Ustadz Arief Syarifuddin Lc Hafizhahullah, Disalin almanhaj.or.id dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VIII/1425H/2004M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar