Translate

Kisah wanita pemerah susu Dan ibunya

Pada zaman pemerintahan Umar bin Khaththab hiduplah seorang janda miskin bersama seorang anak gadisnya di sebuah gubuk tua di pinggiran kota Mekah. Keduanya sangat rajin beribadah dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Setiap pagi, selesai salat subuh, keduanya memerah susu kambing di kandang. Penduduk kota Mekah banyak yang menyukai susu kambing wanita itu karena mutunya yang baik.
Pada suatu malam, Khalifah Umar ditemani pengawalnya berkeliling negeri untuk melihat dari dekat keadaan hidup dan kesejahteraan rakyatnya. Setelah beberapa saat berkeliling, sampailah khalifah di pinggiran kota Mekah. Beliau tertarik melihat sebuah gubuk kecil dengan cahaya yang masih tampak dari dalamnya yang menandakan bahwa penghuninya belum tidur. Khalifah turun dari kudanya, lalu mendekati gubuk itu. Samar-samar telinganya mendengar percakapan seorang wanita dengan anaknya.
“Anakku, malam ini kambing kita hanya mengeluarkan susu sedikit sekali. Ini tidak cukup untuk memenuhi permintaan pelanggan kita besok pagi,” keluh wanita itu kepada anaknya.
Dengan tersenyum, anak gadisnya yang beranjak dewasa itu menghibur, “Ibu, tidak usah disesali. Inilah rezeki yang diberikan Allah kepada kita hari ini. Semoga besok kambing kita mengeluarkan susu yang lebih banyak lagi.”
“Tapi, aku khawatir para pelanggan kita tidak mau membeli susu kepada kita lagi. Bagaimana kalau susu itu kita campur air supaya kelihatan banyak?”
“Jangan, Bu!” gadis itu melarang. “Bagaimanapun kita tidak boleh berbuat curang. Lebih baik kita katakan dengan jujur pada pelanggan bahwa hasil susu hari ini hanya sedikit. Mereka tentu akan memakluminya. Lagi pula kalau ketahuan, kita akan dihukum oleh Khalifah Umar. Percayalah, ketidakjujuran itu akan menyiksa hati.”
Dari luar gubuk itu, Khalifah Umar semakin penasaran ingin terus mendengar kelanjutan percakapan antara janda dan anak gadisnya itu.
“Bagaimana mungkin khalifah Umar tahu!” kata janda itu kepada anaknya. “Saat ini beliau sedang tertidur pulas di istananya yang megah tanpa pernah mengalami kesulitan seperti kita ini?”
Melihat ibunya masih tetap bersikeras dengan alasannya, gadis remaja itu tersenyum dengan lembut dan berkata, “Ibu, memang Khalifah tidak melihat apa yang kita lakukan sekarang. Tapi Allah Maha Melihat setiap gerak-gerik makhluknya. Meskipun kita miskin, jangan sampai kita melakukan sesuatu yang dimurkai Allah.”
Dari luar gubuk, khalifah tersenyum mendengar ucapan gadis itu. Beliau benar-benar kagum dengan kejujurannya. Ternyata kemiskinan dan himpitan keadaan tidak membuatnya terpengaruh untuk berbuat curang. Setelah itu khalifah mengajak pengawalnya pulang.
Keesokan harinya, Umar memerintahkan beberapa orang untuk menjemput wanita pemerah susu dan anak gadisnya untuk menghadap kepadanya. Beliau ternyata bermaksud menikahkan putranya dengan gadis jujur itu.
Sungguh sebuah teladan bagi kita semua, bahwa kejujuran karena takut kepada Allah adalah suatu harta yang tak ternilai harganya. Mungkin ini yang sulit kita dapatkan sekarang.
Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

nasihat untuk penguasa

Mengatakan kebenaran kepada penguasa yang menyeleweng memang perlu keberanian yang tinggi, sebab resikonya besar. Bisa-bisa akan kehilangan kebebasan, mendekam dalam penjara, bahkan lebih jauh lagi dari itu, nyawa bisa melayang. Karena itu, tidaklah mengherankan ketika pada suatu saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh seorang sahabat perihal perjuangan apa yang paling utama, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Mengatakan kebenaran kepada penguasa yang menyeleweng.”
Demikian sabda Tasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang dikisahkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasa’i, Abu Daud, dan Tirmidzi, berdasarkan penuturan Abu Sa’id al-Khudry Radhiyallahu ‘anhu, dan Abu Abdillah Thariq bin Syihab al-Bajily al-Ahnasyi. Oleh sebab itu, sedikit sekali orang yang berani melakukannya, yakni mengatakan kebenaran kepada penguasa yang menyeleweng.
Di antara yang sedikit itu (orang yang pemberani) terdapatlah nama Thawus al-Yamani. Ia adalah seorang tabi’in, yakni generasi yang hidup setelah para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bertemu dengan mereka dan belajar dari mereka. Dikisahkan, suatu ketika Hisyam bin Abdul Malik, seorang khalifah dari Bani Umayyah, melakukan perjalanan ke Mekah guna melaksanakan ibadah haji. Di saat itu beliau meminta agar dipertemukan dengan salah seorang sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang hidup. Namun sayang, ternyata ketika itu tak seorang pun sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masih hidup. Semua sudah wafat. Sebagai gantinya, beliau pun meminta agar dipertemukan dengan seorang tabi’in.
Datanglah Thawus al-Yamani menghadap sebagai wakil dari para tabi’in. Ketika menghadap, Thawus al-Yamani menanggalkan alas kakinya persis ketika akan menginjak permadani yang dibentangkan di hadapan khalifah. Kemudia ia langsung saja nyelonong masuk ke dalam tanpa mengucapkan salam perhormatan pada khalifah yang tengah duduk menanti kedatangannya. Thawus al-Yamani hanya mengucapkan salam biasa saja, “Assalamu’alaikum,” langsung duduk di samping khalifah seraya bertanya, “Bagaimanakah keadaanmu, wahai Hisyam?”
Melihat perilaku Thawus seperti itu, khalifah merasa tersinggung. Beliau murka bukan main. Hampir saja beliau memerintahkan kepada para pengawalnya untuk membunuh Thawus. Melihat gelagat yang demikian, buru-buru Thawus berkata, “Ingat, Anda berada dalam wilayah haramullah dan haramurasulihi (tanah suci Allah dan tanah suci Rasul-Nya). Karena itu, demi tempat yang mulia ini, Anda tidak diperkenankan melakukan perbuatan buruk seperti itu!”
“Lalu apa maksudmu melakukakan semua ini?” tanya khalifah.
“Apa yang aku lakukan?” Thawus balik bertanya.
Dengan geram khalifah pun berkata, “Kamu tanggalkan alas kaki persis di depan permadaniku. Kamu masuk tanpa mengucapkan salam penghormatan kepadaku sebagai khalifah, dan juga tidak mencium tanganku. Lalu, kamu juga memanggilku hanya dengan nama kecilku, tanpa gelar dan kun-yahku. Dan, sudah begitu, kamu berani pula duduk di sampingku tanpa seizinku. Apakah semua itu bukan penghinaan terhadapku?”
“Wahai Hisyam!” jawab Thawus, “Kutanggalkan alas kakiku karena aku juga menanggalkannya lima kali sehari ketika aku menghadap Tuhanku, Allah ‘Azza wa Jalla. Dia tidak marah, apalagi murka kepadaku lantaran itu.”
“Aku tidak mencium tanganmu lantaran kudengar Amirul Mukminin Ali Radhiyallahu ‘anhu pernah berkata bahwa seorang tidak boleh mencium tangan orang lain, kecuali tangan istrinya karena syahwat atau tangan anak-anaknya karena kasih sayang.”
“Aku tidak mengucapkan salam penghormatan dan tidak menyebutmu dengan kata-kata amiirul mukminin lantaran tidak semua rela dengan kepemimpinanmu; karenanya aku enggan untuk berbohong.”
“Aku tidak memanggilmu dengan sebutan gelar kebesaran dan kun-yah lantaran Allah memanggil para kekasih-Nya di dalam Alquran hanya dengan sebutan nama semata, seperti ya Daud, ya Yahya, ya ‘Isa; dan memanggil musuh-musuh-Nya dengan sebutan kun-yah seperti Abu Lahab….”
“Aku duduk persis di sampingmu lantaran kudengar Amiirul Mukminin Ali Radhiyallahu ‘anhu pernah berkata bila kamu ingin melihat calon penghuni neraka, maka lihatlah orang yang duduk sementara orang di sekitarnya tegak berdiri.”
Mendengar jawaban Thawus yang panjang lebar itu, dan juga kebenaran yang terkandung di dalamnya, khalifah pun tafakkur karenanya. Lalu ia berkata, “Benar sekali apa yang Anda katakan itu. Nah, sekarang berilah aku nasehat sehubungan dengan kedudukan ini!”
“Kudengar Amiirul Mukminin Ali Radhiyallahu ‘anhu berkata dalam sebuah nasehatnya,” jawab Thawus, “Sesungguhnya dalam api neraka itu ada ular-ular berbisa dan kalajengking raksasa yang menyengat setiap pemimpin yang tidak adil terhadap rakyatnya.”
Mendengar jawaban dan nasehat Thawus seperti itu, khalifah hanya terdiam, tak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia menyadari bahwa menjadi seorang pemimpin harus bersikap arif dan bijaksana serta tidak boleh meninggalkan nilai-nilai keadilan bagi seluruh rakyatnya. Setelah berbincang-bincang beberapa lamanya perihal masalah-masalah yang penting yang ditanyakan oleh khalifah, Thawus al-Yamani pun meminta diri. Khalifah pun memperkenankannya dengan segala hormat dan lega dengan nasehat-nasehatnya.
Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Allah memberi yg terbaik untuk kita hanya kita tidak sadar


RASA KASIH TERLIHAT DALAM MATA

Sore itu adalah sore yang sangat dingin di Virginia bagian utara, berpuluh-puluh tahun yang lalu. Janggut si orang tua dilapisi es musim dingin selagi ia menunggu tumpangan menyeberangi sungai. Penantiannya seakan tak berakhir. Tubuhnya menjadi mati rasa dan kaku akibat angin utara yang dingin.
Samar-samar ia mendengar irama teratur hentakan kaki kuda yang berlari mendekat di atas jalan yang beku itu. Dengan gelisah iamengawasi beberapa penunggang kuda memutari tikungan.
Ia membiarkan beberapa kuda lewat, tanpa berusaha untuk menarik perhatian. Lalu, satu lagi lewat, dan satu lagi. Akhirnya, penunggang kuda yang terakhir mendekati tempat si orang tua yang duduk seperti patung salju.
Saat yang satu ini mendekat, si orang tua menangkap mata si penunggang…dan ia pun berkata, “Tuan, maukah anda memberikan tumpangan pada orang tua ini ke seberang ? Kelihatannya tak ada jalan untuk berjalan kaki.”
Sambil menghentikan kudanya, si penunggang menjawab, “Tentu. Naiklah.” Melihat si orang tua tak mampu mengangkat tubuhnya yang setengah membeku dari atas tanah, si penunggang kuda turun dan menolongnya naik ke atas kuda.
Si penunggang membawa si orang tua itu bukan hanya ke seberang sungai, tapi terus ke tempat tujuannya, yang hanya berjarak beberapa kilometer. Selagi mereka mendekati pondok kecil yang nyaman, rasa ingin tahu si penunggang kuda atas sesuatu, mendorongnya untuk bertanya,
“Pak, saya lihat tadi bapak membiarkan penunggang2 kuda lain lewat, tanpa berusaha meminta tumpangan. Saya ingin tahu kenapa pada malam musim dingin seperti ini Bapak mau menunggu dan minta tolong pada penunggang terakhir. Bagaimana kalau saya tadi menolak dan meninggalkan bapak di sana?”
Si orang tua menurunkan tubuhnya perlahan dari kuda, memandang langsung mata si penunggang kuda dan menjawab, “Saya sudah lama tinggal di daerah ini. Saya rasa saya cukup kenal dengan orang.”
Si orang tua melanjutkan, “Saya memandang mata penunggang yang lain, dan langsung tahu bahwa di situ tidak ada perhatian pada keadaan saya. Pasti percuma saja saya minta tumpangan.
Tapi waktu saya melihat matamu, kebaikan hati dan rasa kasihmu terasa jelas ada pada dirimu. Saya tahu saat itu juga bahwa jiwamu yang lembut akan menyambut kesempatan untuk memberi saya pertolongan pada saat saya membutuhkannya.”
Komentar yang menghangatkan hati itu menyentuh si penunggang kuda dengan dalam. “Saya berterima kasih sekali atas perkataan bapak”, ia berkata pada si orang tua. “Mudah-mudahan saya tidak akan terlalu sibuk mengurus masalah saya sendiri hingga saya gagal menanggapi kebutuhan orang lain..”
Seraya berkata demikian, Thomas Jefferson, si penunggang kuda itu, memutar kudanya dan melanjutkan perjalanannya menuju ke Gedung Putih.
The Sower’s Seeds – Brian Cavanaugh.
Kau tak akan pernah tahu kapan kau akan memerlukan orang lain, atau kapan seseorang memerlukanmu. Kebijakan dari seluruh hidupmu melukis sebuah citra dimatamu, yang membantu orang lain melihat, menemukan pertolongan yang ia butuhkan, dan bahwa masih ada keutamaan lain di dunia ini dari pada sekedar peduli dengan dirimu sendiri, yaitu kepedulianmu pada orang lain, sahabatmu atau benar-benar orang lain.
Maka bila ada sahabat atau seseorang memerlukan perhatian atau bantuanmu, atau meminta maaf atas satu kesalahan, itu karena ia menghormati dan menghargai kebaikan yang pasti ada dalam jiwamu. Kau dapat menghormati juga permintaan itu, atau kau meninggalkannya di tengah jalan sendirian.

kisah taubatnya malik bin dinar

Diriwayatkan dari Mali bin Dinar, dia pernah ditanya tentang sebab-sebab dia bertaubat, maka dia berkata : “Aku adalah seorang polisi dan aku sedang asyik menikmati khamr, kemudia akau beli seorang budak perempuan dengan harga mahal, maka dia melahirkan seorang anak perempuan, aku pun menyayanginya.
Ketika dia mulai bisa berjalan, maka cintaku bertambah padanya. Setiap kali aku meletakkan minuman keras dihadapanku anak itu datang padaku dan mengambilnya dan menuangkannya di bajuku, ketika umurnya menginjak dua tahun dia meninggal dunia, maka aku pun sangat sedih atas musibah ini.
Ketika malam dipertengahan bulan Sya’ban dan itu di malam Jum’at, aku meneguk khamr lalu tidur dan belum shalat isya’. Maka akau bermimpi seakan-akan qiyamat itu terjadi, dan terompet sangkakala ditiup, orang mati dibangkitkan, seluruh makhluk dikumpulkan dan aku berada bersama mereka, kemudian aku mendengar sesuatu yang bergerak dibelakangku.
Ketika aku menoleh ke arahnya kulihat ular yang sangat besar berwarna hitam kebiru-biruan membuka mulutnya menuju kearahku, maka aku lari tunggang langgang karena ketakutan,
Ditengah jalan kutemui seorang syaikh yang berpakaian putih dengan wangi yang semerbak, maka aku ucapkan salam atasnya, dia pun menjawabnya, maka aku berkata :
“Wahai syaikh ! Tolong lindungilah aku dari ular ini semoga Allah melindungimu”. Maka syaikh itu menangis dan berkata padaku :
“Aku orang yang lemah dan ular itu lebih kuat dariku dan aku tak mampu mengatasinya, akan tetapi bergegaslah engkau mudah-mudahan Allah menyelamatkanmu”,
Maka aku bergegas lari dan memanjat sebuah tebing Neraka hingga sampai pada ujung tebing itu, aku lihat kobaran api Neraka yang sangat dahsyat, hampir saja aku terjatuh kedalamnya karena rasa takutku pada ular itu. Namun pada waktu itu seorang menjerit memanggilku,
“Kembalilah engkau karena engkau bukan penghuni Neraka itu!”, aku pun tenang mendengarnya, maka turunlah aku dari tebing itu dan pulang. Sedang ular yang mengejarku itu juga kembali. Aku datangi syaikh dan aku katakan,
“Wahai syaikh, aku mohon kepadamu agar melindungiku dari ular itu namun engkau tak mampu berbuat apa-apa”. Menangislah syaikh itu seraya berkata, “Aku seorang yang lemah tetapi pergilah ke gunung itu karena di sana terdapat banyak simpanan kaum muslimin, kalau engkau punya barang simpanan di sana maka barang itu akan menolongmu”
Aku melihat ke gunung yang bulat itu yang terbuat dari perak. Di sana ada setrika yang telah retak dan tirai-tirai yang tergantung yang setiap lubang cahaya mempunyai daun-daun pintu dari emas dan di setiap daun pintu itu mempunyai tirai sutera.
Ketika aku lihat gunung itu, aku langsung lari karena kutemui ular besar lagi. Maka tatkala ular itu mendekatiku, para malaikat berteriak : “Angkatlah tirai-tirai itu dan bukalah pintu-pintunya dan mendakilah kesana!” Mudah-mudahan dia punya barang titipan di sana yang dapat melindunginya dari musuhnya (ular).
Ketika tirai-tirai itu diangkat dan pintu-pintu telah dibuka, ada beberapa anak dengan wajah berseri mengawasiku dari atas. Ular itu semakin mendekat padaku, maka aku kebingungan, berteriaklah anak-anak itu :
“Celakalah kamu sekalian!, Cepatlah naik semuanya karena ular besar itu telah mendekatinya”. Maka naiklah mereka dengan serentak, aku lihat anak perempuanku yang telah meninggal ikut mengawasiku bersama mereka. Ketika dia melihatku, dia menangis dan berkata :
“Ayahku, demi Allah!” Kemudian dia melompat bak anak panah menuju padaku, kemudian dia ulurkan tangan kirinya pada tangan kananku dan menariknya, kemudian dia ulurkan tangan kanannya ke ular itu, namun binatang tersebut lari.
Kemudian dia mendudukkanku dan dia duduk di pangkuanku, maka aku pegang tangan kanannya untuk menghelai jenggotku dan berkata : “Wahai ayahku! Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah”. (QS. Al-Hadid : 16).
Maka aku menangis dan berkata : “Wahai anakku!, Kalian semua faham tentang Al-Qur’an”, maka dia berkata :
“Wahai ayahku, kami lebih tahu tentang Al-Qur’an darimu”, aku berkata :
“Ceritakanlah padaku tentang ular yang ingin membunuhku”, dia menjawab :
“Itulah pekerjaanmu yang buruk yang selama ini engkau kerjakan, maka itu akan memasukkanmu ke dalam api Neraka”, akau berkata :
“Ceritakanlah tentang Syaikh yang berjalan di jalanku itu”, dia menjawab : “Wahai ayahku, itulah amal shaleh yang sedikit hingga tak mampu menolongmu”, aku berkata :
“Wahai anakku, apa yang kalian perbuat di gunung itu?”, dia menjawab : “Kami adalah anak-anak orang muslimin yang di sini hingga terjadinya kiamat, kami menunggu kalian hingga datang pada kami kemudian kami memberi syafa’at pada kalian”. (HR. Muslim dalam shahihnya No. 2635).
Berkata Malik : “Maka akupun takut dan aku tuangkan seluruh minuman keras itu dan kupecahkan seluruh botol-botol minuman kemudian aku bertaubat pada Allah, dan inilah cerita tentang taubatku pada Allah”.
Dikutip dari : Hakikat Taubat.
SUMBER : http:/www.alirsyad-alislamy.or.id

kisah masuk islamnya salman al faris R.A

Kelahiran dan pertumbuhannya:
Salman Al-Farisi r.a. lahir di suatu desa bernama Jiyan di wilayah kota Aspahan – Iran, yaitu antara kota Teheran dengan Syiraz. Setelah Salman r.a. mendengar kebangkitan Rasulullah saw. dia langsung berangkat meninggalkan Persia mencari Nabi saw. untuk menyatakan keislamannya.
Dalam suatu kisah, Salman menceritakan otobiografinya sbb. ‘Saya adalah anak muda Persia yang berasal dari suatu desa di kota Aspahan yang bernama Jiyan.
Ayah saya adalah kepala desa dan orang terkaya serta terhormat di desa itu. Dari sejak lahir, saya adalah orang yang paling disayanginya, kasih sayangnya kepada saya semakin hari semakin kental, sehingga saya di kurung di rumah bagaikan gadis pingitan.
Saya termasuk orang yang takwa dalam agama majusi, sehingga saya merasakan nilai api yang kami sembah itu dan saya diberi tanggungjawab menyalakannya, jangan sampai padam sepanjang hari dan sepanjang malam.
Ayah saya mempunyai ladang yang luas yang memberi kami penghidupan yang cukup. Ayah saya selalu mengurusi dan memanennya sendiri.
Di suatu hari, dia tidak bisa pergi ke ladang, lalu dia mengatakan kepada saya, ‘Anakku! Ayah sibuk dan tidak bisa pergi ke ladang hari ini, sebab itu pergilah urusi ladang tersebut menggantikan Ayah.’ Lalu saya berangkat menuju ladang kami.
Di tengah perjalanan, saya melewati sebuah gereja Kristen dan mendengar suara mereka yang sedang beribadah di dalam. Hal itu menarik perhatian saya karena saya tidak pernah tahu sedikitpun tentang agama Kristen dan agama lainnya, karena sepanjang usia saya selalu dipingit di dalam rumah oleh orang tua saya. Setelah mendengar suara itu, saya masuk ingin mengetahui secara dekat apa yang sedang mereka lakukan.
Setelah saya memperhatiakan apa yang mereka kerjakan, saya merasa tertarik dengan cara mereka beribadah, malah saya tertarik dengan agama mereka. Saya mengatakan dalam hati saya, ‘Sungguh agama mereka ini lebih baik dari agama kami.’
Saya tidak keluar dari gereja tersebut sampai matahari terbenam sehingga saya tidak jadi pergi ke ladang kami. Saya menayakan kepada mereka, ‘Dari mana asal agama ini?’ Mereka menjawab, ‘Dari daerah Syam.’
Setelah malam menjelang, saya pulang ke rumah. Ayah saya langsung menanyakan kepada saya apa yang telah saya lakukan. Saya menjawab, ‘Hai Ayahku! Saya melewati sekelompok orang yang sedang beribadah di dalam gereja, lalu saya tertarik dengan cara mereka beribadah. Saya berada bersama mereka sampai matahari terbenam.’ Ayah saya langsung marah mendengar tindakan saya dan dia mengatakan,
‘Hai anakku! Agama mereka itu tidak baik, agamamu dan agama nenek moyangmu lebih baik dari agama itu.’
Saya menjawab, ‘Tidak ayah! Agama mereka lebih baik dari agama kita.’ Dari perkataan saya itu, syah saya takut kalau-kalau saya akan murtad, lalu dia mengurung saya di rumah dengan mengekang kaki saya.’
Berangkat ke negeri Syam:
Ketika saya mendapat kesempatan, saya mengirim pesan kepada kaum Kristen itu. Saya mengatakan,’Bila ada rombongan yang akan berangkat ke negeri Syam, tolong saya diberi tahu.’ Ternyata tidak berapa lama ada satu rombongan yang akan berangkat ke negeri Syam.
Mereka pun langsung memberitahukannya kepada saya. Saya berusaha membuka kekang kaki saya dan saya berhasil membukanya. Saya berangkat bersama mereka secara sembunyi dan akhirnya kami sampai di negeri Syam. Setibanya di negeri Syam, saya mengatakan, ‘Siapa orang nomor satu dalam agama ini?’ Mereka menjawab, ‘Uskup pengasuh gereja.’
Saya mendatanginya dan mengatakan kepadanya, ‘Saya tertarik dengan agama Kristen ini dan saya ingin mengikuti dan membantumu sekaligus belajar dari kamu dan beribadah bersama kamu.’ Dia menjawab, ‘Silakan masuk!’ Saya pun masuk dan menjadi pembantunya.
Belum berlangsung lama, saya menilai bahwa orang tersebut adalah orang jahat, dia menyuruh pengikutnya untuk berderma dan mengiming-imingi mereka dengan pahala yang sangat besar. Setelah mereka memberikannya dengan niat fi sabilillah, ternyata dia monopoli untuk dirinya sendiri, tidak diberikan kepada fakir miskin sedikitpun. Dia berhasil mengumpulkan sebanyak tujuh karung emas. Melihat keadaan itu, saya menaruh kebencian yang luar biasa terhadapnya.
Ketika dia meninggal, kaum Kristen berkumpul untuk menguburkannya, ketika itu saya mengatakan kepada mereka, ‘Sesungguhnya teman kamu ini adalah orang jahat, dia menyuruh kamu bersedekah dan mengiming-imingkan pahala besar, setelah kalian kumpulkan, dia monopoli untuk dirinya sendiri, dia tidak berikan sedikitpun kepada fakir miskin.’ Mereka menjawab, ‘Dari mana kamu tahu?’ Saya menjawab, ‘Mari saya tunjukkan kepada kamu sekarang juga tempat penyimpanan harta itu’ Mereka mengatakan, ‘Ayo tunjukkan kepada kami tempatnya.’
Saya pun menunjukkannya dan mereka menemukan tujuh karung emas dan perak. Setelah mereka melihat secara langsung, mereka mengatakan, ‘Demi Allah kita tidak akan menguburkannya, kita harus menyalib dan melemparinya dengan batu.’
Tidak lama kemudian mereka mengangkat orang lain sebagai penggantinya, lalu saya mengikutinya. Sungguh saya belum pernah mendapatkan orang yang paling zuhud dan mengharap akhirat melebihi orang itu. Ibadahnya yang berlangsung siang malam membuat saya mnyenanginya, lalu saya hidup bersama dia beberapa tahun. Ketika menjelang wafatnya, saya mengatakan kepadanya, ‘Ya Polan! Kepada siapa engkau pesankan saya dan dengan siapa saya akan hidup sepeninggal kamu?’
Dia menjawab, ‘Ya anakku! Terus terang saya tidak melihat ada orang yang tingkat keagamaannya seperti kita, kecuali satu orang di kota Musol yang bernama Polan. Dia tidak merubah-rubah dan mengganti-ganti ayat Allah. Oleh sebab itu carilah orang itu.’
Sepeninggal teman saya itu, saya pergi menyusul orang tersebut ke kota Musol. Setibanya di rumah beliau saya menceritakan kisah saya dan mengatakan kepadanya, ‘Ketika si Polan hendak meninggal dunia dia memesankan kepada saya untuk menyusul kamu, dia memberitahukan kepada saya bahwa kamu berpegang kuat dengan kebenaran. Dia mengatakan kepada saya, kalau begitu, tinggallah bersama saya. Saya pun tinggal bersama beliau, dan memang betul dia adalah orang baik.
Tidak lama kemudian, diapun menemui ajalnya. Ketika hendak meninggal saya bertanya kepadanya, ‘Ya Polan! Janji Tuhan sudah dekat kepada Anda, Anda tahu kondisi saya sebenarnya, oleh sebab itu kepada siapa Anda memesankan saya dan siapa yang harus saya ikuti?’
Dia menjawab, ‘Hai anakku! Terus terang saya tidak melihat ada orang yang tingkat keagamaannya seperti kita kecuali seorang di Nasibin yang bernama Polan, susullah dia ke sana’ Setelah orang itu bersemayam di liang lahad, saya berangkat ke Nasibin mencari orang yang disebutkan itu. Saya menceritakan kepadanya kisah saya dan pesan teman saya sebelumnya. Dia mengatakan, ‘Tinggallah bersama saya.’
Saya pun tinggal bersama dia dan ternyata memang dia adalah orang baik seperti dua orang teman saya sebelumnya. Akan tetapi tidak lama kemudian dia pun menemui ajalnya. Ketika menjelang maut, saya bertanya kepadanya, ‘Engkau telah mengetahui kondisi saya sebenarnya. Oleh sebab itu kepada siapa engkau memesankan saya?’
Dia menjawab, ‘Ya anakku! Terus terang saya tidak menemukan ada orang yang tingkat keagamaannya seperti kita kecuali seorang di kota Amuriah yang bernama Polan, carilah orang itu.’ Saya pun mencarinya dan saya menceritakan kisah saya kepadanya. Dia menjawab, ‘Tinggallah bersama saya.’ Saya pun tinggal bersama dia. Ternyata memang dia orang baik seperti yang dikatakan orang sebelumnya. Selama saya tinggal bersama dia saya berhasil mendapatkan beberapa ekor sapi dan harta kekayaan lainnya.
Pendeta Kristen memesan Salman mengikuti Nabi:
Kemudian orang tersebut pun menemui ajalnya seperti yang sebelumnya. Ketika menjelang kematiannya, saya mengatakan kepadanya, ‘Anda mengetahui kondisi saya sebenarnya, oleh sebab itu kepada siapa engkau akan pesankan saya atau apa pesan Anda untuk saya lakukan?’
Dia menjawab, ‘Hai anakku! Terus terang saya tidak menemukan seorang-pun di muka bumi ini yang masih berpegang dengan agama kita, namun waktunya sudah tiba, seorang nabi yang akan membawa agama Nabi Ibrahim akan muncul di tanah Arab, dia akan hijrah dari tanah tumpah darahnya ke daerah yang penuh dengan pohon kurma di antara dua gunung, dia mempunyai tanda kenabian yang sangat jelas, dia mau memakan hadiah tapi tidak mau memakan sedekah, di antara bahunya terdapat cap kenabian. Jika Anda bisa menyusul ke negeri itu, silakan.’ Tidak lama kemudian dia pun meninggal dunia, saya pun tinggal di kota Amuriah untuk beberapa waktu.
Datang ke jazirah Arabia:
Ketika rombongan pedagang dari Suku Kalb -Arab- lintas di Amuriah, saya berkata kepada mereka, ‘Jika kalian sanggup membawa saya ke tanah Arab, saya berikan kepada kalian sapi dan harta kekayaan saya ini.’ Mereka menjawab, ‘Ya, kami sanggup membawa kamu.’ Saya pun memberikan sapidan kekayaan saya tersebut kepada mereka dan mereka pun membawa saya.
Ketika saya sampai di Wadil qura, mereka menipu saya dan menjual saya kepada kepada seorang yahudi dan memperlakukan saya sebagai hambanya. Suatu ketika, saudaranya dari suku Quraizah datang menemuinya, lalu dia membeli dan membawa saya pergi ke Yasrib (Madinah). Di sana saya melihat pohon kurma yang disebut oleh teman saya yang di Amuria, dari diskripsi yang disampaikan teman saya itu, saya tahu persis bahwa inilah kota yang dimaksudkan itu. Saya pun tinggal brsama tuan saya di kota itu.
Ketika itu Nabi saw. sudah mulai mengajak kaumnya di Mekah untuk masuk Islam, namun saya tidak mendengar apa-apa dari kegiatan Nabi itu karena kesibukan saya sehari-hari sebagai budak.
Memeluk Islam:
Tidak berapa lama, Rasulullah saw. pun hijrah ke Yasrib. Demi Allah ketika saya berada di atas sebatang pohon kurma milik tuan saya, sedang memberesi kurma itu, sedangkan tuan saya duduk dibawah, seorang saudaranya datang dan mengatakan kepadanya, ‘Celaka besar atas bani Qilah, mereka sekarang sedang berkumpul di Kuba, menunggu seorang yang mengklaim dirinya sebagai seorang nabi akan datang hari ini.’
Setelah saya mendengar pembicaraan mereka itu, saya langsung merinding kayak demam, saya gemetar, sehingga saya khawatir akan jatuh ke tuan saya. Saya segera turun dari pohon kurma tersebut lalu mengatakan kepada tamu itu, ‘Apa tadi yang Anda katakan? Tolong ulangi katakan kepada saya!’ Tuan saya langsung marah dan memukul saya sekuat-kuatnya lalu mengatakan,
‘Urusan apa kamu dengan berita itu? Kembali teruskan pekerjaanmu!’
Di sore harinya, saya mengambil sedikit kurma yang telah saya kumpulkan sebelumnya, lalu saya berangkat ke tempat Nabi tinggal. Ketika itu saya mengatakan kepada Rasulullah, ‘Saya mendengar bahwa Anda adalah orang saleh, datang bersama teman-teman dari kejauhan memerlukan sesuatu. Di tangan saya ada sedikit sedekah, nampaknya kamu lebih pantas menerimanya.’
Lalu saya dekatkan kurma itu kepada mereka. Rasulullah saw. mengatakan kepada para Sahabat, ‘Makanlah’ sedangkan dia sendiri tidak memakannya. Saya mengatakan dalam hati saya, ‘Ini dia satu tanda kenabiannya.’
Kemudian saya kembali ke rumah dan mengambil beberapa buah kurma, ketika Nabi saw. berangkat dari Quba ke Madinah, saya mendatanginya dan mengatakan kepadanya, ‘Tampaknya Anda tidak memakan sedekah, ini ada sedikit hadiah saya bawa sebagai penghormatan kepada Anda.’
Rasululullah pun memakannya dan menyuruh sahabat untuk ikut memakannya, lalu mereka makan bersama-sama.
Dalam hati saya berkata, ‘Ini dia tanda kenabian kedua’
Ketika Nabi berada di Baqi Gargad, ingin menguburkan seorang sahabat, saya mendatangi beliau dan melihat beliau sedang duduk memakai dua selendang. Saya mengucapkan salam kepadanya, kemudian saya berjalan berputar sekeliling beliau untuk melihat punggungnya, barang kali saja saya dapat melihat cap seperti yang dikatakan oleh teman saya di Amuriah. Setelah Nabi melihat bahwa saya memperhatikan punggung beliau, dia mengerti tujuan saya, lalu dia mengangkat selendangnya, ketika itu saya melihat ada cap, lalu saya yakin bahwa itulah cap kenabian, lalu saya memeluk dan mencium beliau sambil menangis.
Melihat hal itu Rasulullah saw. bertanya, ‘Apa gerangan yang terjadi pada kamu?’ Saya pun menceritakan kisah saya dan beliau sangat kagum dan beliau menginginkan agar saya perdengarkan kepada para sabahat, lalu saya memperdengarkannya. Mereka semua kagum dan gembira yang tiada taranya.
Salman masuk Islam dan dimerdekakan, seterusnya menjadi seorang sahabat yang sangat mulia. Dia sempat menjabat gubernur di zaman khulafaur Rasyidun di beberapa negeri. Mudah-mudahan Allah meridai beliau.
Biografinya:
Dalam satu riwayat, disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah meletakkan tangannya di atas Salman, lalu bersabda, ‘Seandainya iman berada nun jauh di planet Tata surya, pasti akan dicapai oleh orang-orang mereka ini.’ sambil beliau menunjuk kepada Salman r.a.
Sumber: alislam (Abu Saifulhaq)

Baru Menanam Sudah Memanen Hasilnya

Suatu ketika khalifah Umar bin Abdul Aziz berkeliling kota sambil menaiki kuda, beliau meninjau ibu kota untuk mengetahui secara langsung kondisi rakyatnya. Di kejauhan sang khalifah melihat seorang yang sangat tua sedang menanam pohon kurma dengan asyiknya. Dengan perlahan sang khalifah mendekati orang tua tersebut, setelah turun dari kudanya, khalifah Umar bin Abdul Aziz turun dari kudanya dan mengucap salam kepada si orang tua dan bertanya,” Assalamu’alaikum sedang apa engkau wahai Pak tua?” Pak tua pun menjawab dengan ramah salam dari khalifah,” Wa’alaikum salam Tuan. Saya sedang menanam pohon kurma tuan.”
Khalifah kembali bertanya,” Engkau kan sudah tua, buat apa menanam pohon kurma? Bukankah pohon kurma baru akan berbuah setelah menunggu bertahun-tahun lamanya? Apakah engkau masih hidup saat panen buah korma dari pohon yang engkau tanam?” Pak tua menjawab dengan tatapan mata yang berbinar-binar penuh semangat,” Memang benar, tuanku, usia hamba memang sudah tua, kalau hamba masih sempat memanen buah korma ini ya alhamdulillah, namun sekiranya saat panen tiba hamba sudah dipanggil oleh Allah dan sudah meninggalkan dunia ini tentu masih ada anak-anak saya yang bisa memanen buah dari pohon ini. Seandainya anak-anak dan keturunan saya pun telah tiada, bolehlah buah dari pohon ini dipetik oleh orang lewat yang membutuhkan . Dengan demikian sekali menanam pohon namun manfaatnya dapat dinikmati oleh banyak orang!”
Khalifah Umar bin Abdul Aziz terpana mendengar penjelasan Pak Tua,” Sungguh pemikiran yang baik dari seorang hamba Allah yang ikhlas .” Demikian pemikiran khalifah di dalam hati,” Pak Tua, engkau memiliki pemikiran yang sangat bagus dan bermanfaat. Aku tersentuh dengan ketulusanmu, ini ada sedikit pemberian dariku untukmu, terimalah. Semoga rizqimu berkah.” Khalifah Umar menyodorkan sekantung uang kepada Pak Tua karena ia terpesona dengan pemikirannya. Pak tua menerima pemberian itu dengan sangat bahagia ia pun berujar,” Terima kasih tuan. Baru saja menanam sudah memetik hasilnya.” Alangkah indahnya dunia ini kalau banyak orang yang berpikiran dan bertindak seperti Pak Tua yang dengan ikhlas menanam, bekerja dan berbuat untuk kepentingan banyak orang dengan tanpa pamrih untuk kebaikan, dengan niat Lillahi ta’ala mengharapkan ridho Allah SWT.

Abdurrahman bin Auf `sahabat Bertangan emas`

Abdurrahman bin Auf termasuk kelompok delapan orang yang mula-mula masuk Islam. Ia juga tergolong sepuluh sahabat yang diberi kabar gembira oleh Rasulullah masuk surga dan termasuk enam orang sahabat yang bermusyawarah dalam pemilihan khalifah setelah Umar bin Al-Khathab. Di samping itu, ia adalah seorang mufti yang dipercayai Rasulullah berfatwa di Madinah selama beliau masih hidup.

Pada masa Jahiliyah, ia dikenal dengan nama Abd Amr. Setelah masuk Islam, Rasulullah memanggilnya Abdurrahman bin Auf. Ia memeluk Islam sebelum Rasulullah menjadikan rumah Al-Arqam sebagai pusat dakwah. Ia mendapatkan hidayah dari Allah dua hari setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq memeluk Islam.

Seperti kaum Muslimin yang pertama-tama masuk Islam lainnya, Abdurrahman bin Auf tidak luput dari penyiksaan dan tekanan dari kaum kafir Quraisy. Namun ia tetap sabar dan tabah. Abdurrahman turut hijrah ke Habasyah bersama kawan-kawan seiman untuk menyelamatkan diri dan agama dari tekanan Quraiys.

Tatkala Rasulullah SAW dan para sahabat diizinkan Allah hijrah ke Madinah, Abdurrahman menjadi pelopor kaum Muslimin. Di kota yang dulu bernama Yatsrib ini, Rasulullah mempersaudarakan orang-orang Muhajirin dan Anshar. Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan Sa'ad bin Rabi Al-Anshari.

Sa'ad termasuk orang kaya diantara penduduk Madinah, ia berniat membantu saudaranya dengan sepenuh hati, namun Abdurrahman menolak. Ia hanya berkata, "Tunjukkanlah padaku di mana letak pasar di kota ini!"

Sa'ad kemudian menunjukkan padanya di mana letak pasar. Maka mulailah Abdurrahman berniaga di sana. Belum lama menjalankan bisnisnya, ia berhasil mengumpulkan uang yang cukup untuk mahar nikah. Ia pun mendatangi Rasulullah seraya berkata, "Saya ingin menikah, ya Rasulullah," katanya.

"Apa mahar yang akan kau berikan pada istrimu?" tanya Rasul SAW.

"Emas seberat biji kurma," jawabnya.

Rasulullah bersabda, "Laksanakanlah walimah (kenduri), walau hanya dengan menyembelih seekor kambing. Semoga Allah memberkati pernikahanmu dan hartamu."

Sejak itulah kehidupan Abdurrahman menjadi makmur. Seandainya ia mendapatkan sebongkah batu, maka di bawahnya terdapat emas dan perak. Begitu besar berkah yang diberikan Allah kepadanya sampai ia dijuluki 'Sahabat Bertangan Emas'.

Pada saat Perang Badar meletus, Abdurrahman bin Auf turut berjihad fi sabilillah. Dalam perang itu ia berhasil menewaskan musuh-musuh Allah, di antaranya Umar bin Utsman bin Ka'ab At-Taimy. Begitu juga dalam Perang Uhud, dia tetap bertahan di samping Rasulullah ketika tentara Muslimin banyak yang meninggalkan medan perang.

Abdurrahman bin Auf adalah sahabat yang dikenal paling kaya dan dermawan. Ia tak segan-segan mengeluarkan hartanya untuk jihad di jalan Allah. Pada waktu Perang Tabuk, Rasulullah memerintahkan kaum Muslimin untuk mengorbankan harta benda mereka. Dengan patuh Abdurrahman bin Auf memenuhi seruan Nabi SAW. Ia memelopori dengan menyerahkan dua ratusuqiyah
emas.

Mengetahui hal tersebut, Umar bin Al-Khathab berbisik kepada Rasulullah, "Sepertinya Abdurrahman berdosa karena tidak meninggalkan uang belanja sedikit pun untuk keluarganya."

Rasulullah bertanya kepada Abdurrahman, "Apakah kau meninggalkan uang belanja untuk istrimu?"

"Ya," jawabnya. "Mereka kutinggalkan lebih banyak dan lebih baik daripada yang kusumbangkan."

"Berapa?" tanya Rasulullah.

"Sebanyak rezeki, kebaikan, dan pahala yang dijanjikan Allah."

Pasukan Muslimin berangkat ke Tabuk. Dalam kesempatan inilah Allah memuliakan Abdurrahman dengan kemuliaan yang belum pernah diperoleh siapa pun. Ketika waktu shalat tiba, Rasulullah terlambat datang. Maka Abdurrahman bin Auf yang menjadi imam shalat berjamaah. Setelah hampir selesai rakaat pertama, Rasulullah tiba, lalu shalat di belakangnya dan mengikuti sebagai makmum. Sungguh tak ada yang lebih mulia dan utama daripada menjadi imam bagi pemimpin umat dan pemimpin para nabi, yaitu Muhammad SAW.

Setelah Rasulullah wafat, Abdurrahman bin Auf bertugas menjaga kesejahteraan dan keselamatan Ummahatul Mukminin (para istri Rasulullah). Dia bertanggung jawab memenuhi segala kebutuhan mereka dan mengadakan pengawalan bagi ibu-ibu mulia itu bila mereka bepergian.

Suatu ketika Abdurrahman bin Auf membeli sebidang tanah dan membagi-bagikannya kepada Bani Zuhrah, dan kepada Ummahatul Mukminin. Ketika jatah Aisyah ra disampaikan kepadanya, ia bertanya, "Siapa yang menghadiahkan tanah itu buatku?"

"Abdurrahman bin Auf," jawab si petugas.

Aisyah berkata, "Rasulullah pernah bersabda, 'Tidak ada orang yang kasihan kepada kalian sepeninggalku kecuali orang-orang yang sabar."

Begitulah, doa Rasulullah bagi Abdurrahman bin Auf terkabulkan. Allah senantiasa melimpahkan berkah-Nya, sehingga ia menjadi orang terkaya di antara para sahabat. Bisnisnya terus berkembang dan maju. Semakin banyak keuntungan yang ia peroleh semakin besar pula kedermawanannya. Hartanya dinafkahkan di jalan Allah, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Walau termasuk konglomerat terbesar pada masanya, namun itu tidak memengaruhi jiwanya yang dipenuhi iman dan takwa.

Berbahagialah Abdurrahman bin Auf dengan limpahan karunia dan kebahagiaan yang diberikan Allah kepadanya. Ketika meninggal dunia, jenazahnya diiringi oleh para sahabat mulia seperti Sa'ad bin Abi Waqqash dan yang lain. Dalam kata sambutannya, Khalifah Ali bin Abi Thalib berkata, "Engkau telah mendapatkan kasih sayang Allah, dan engkau berhasil menundukkan kepalsuan dunia. Semoga Allah selalu merahmatimu." Amin.

penghuni surga terendah


Slumber : http://thalibmakbar.wordpress.com/2010/09/14/ini-pahala-terendah-di-surga-yang-paling-tinggi-bagaimana/
Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalah shahihnya dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« آخِرُ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ رَجُلٌ فَهُوَ يَمْشِى مَرَّةً وَيَكْبُو مَرَّةً وَتَسْفَعُهُ النَّارُ مَرَّةً فَإِذَا مَا جَاوَزَهَا الْتَفَتَ إِلَيْهَا فَقَالَ تَبَارَكَ الَّذِى نَجَّانِى مِنْكِ لَقَدْ أَعْطَانِىَ اللَّهُ شَيْئًا مَا أَعْطَاهُ أَحَدًا مِنَ الأَوَّلِينَ وَالآخِرِينَ. فَتُرْفَعُ لَهُ شَجَرَةٌ فَيَقُولُ أَىْ رَبِّ أَدْنِنِى مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ فَلأَسْتَظِلَّ بِظِلِّهَا وَأَشْرَبَ مِنْ مَائِهَا. فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَا ابْنَ آدَمَ لَعَلِّى إِنْ أَعْطَيْتُكَهَا سَأَلْتَنِى غَيْرَهَا. فَيَقُولُ لاَ يَا رَبِّ. وَيُعَاهِدُهُ أَنْ لاَ يَسْأَلَهُ غَيْرَهَا وَرَبُّهُ يَعْذِرُهُ لأَنَّهُ يَرَى مَا لاَ صَبْرَ لَهُ عَلَيْهِ فَيُدْنِيهِ مِنْهَا فَيَسْتَظِلُّ بِظِلِّهَا وَيَشْرَبُ مِنْ مَائِهَا ثُمَّ تُرْفَعُ لَهُ شَجَرَةٌ هِىَ أَحْسَنُ مِنَ الأُولَى فَيَقُولُ أَىْ رَبِّ أَدْنِنِى مِنْ هَذِهِ لأَشْرَبَ مِنْ مَائِهَا وَأَسْتَظِلَّ بِظِلِّهَا لاَ أَسْأَلُكَ غَيْرَهَا. فَيَقُولُ يَا ابْنَ آدَمَ أَلَمْ تُعَاهِدْنِى أَنْ لاَ تَسْأَلَنِى غَيْرَهَا فَيَقُولُ لَعَلِّى إِنْ أَدْنَيْتُكَ مِنْهَا تَسْأَلُنِى غَيْرَهَا . فَيُعَاهِدُهُ أَنْ لاَ يَسْأَلَهُ غَيْرَهَا وَرَبُّهُ يَعْذِرُهُ لأَنَّهُ يَرَى مَا لاَ صَبْرَ لَهُ عَلَيْهِ فَيُدْنِيهِ مِنْهَا فَيَسْتَظِلُّ بِظِلِّهَا وَيَشْرَبُ مِنْ مَائِهَا. ثُمَّ تُرْفَعُ لَهُ شَجَرَةٌ عِنْدَ بَابِ الْجَنَّةِ هِىَ أَحْسَنُ مِنَ الأُولَيَيْنِ. فَيَقُولُ أَىْ رَبِّ أَدْنِنِى مِنْ هَذِهِ لأَسْتَظِلَّ بِظِلِّهَا وَأَشْرَبَ مِنْ مَائِهَا لاَ أَسْأَلُكَ غَيْرَهَا. فَيَقُولُ يَا ابْنَ آدَمَ أَلَمْ تُعَاهِدْنِى أَنْ لاَ تَسْأَلَنِى غَيْرَهَا قَالَ بَلَى يَا رَبِّ هَذِهِ لاَ أَسْأَلُكَ غَيْرَهَا. وَرَبُّهُ يَعْذِرُهُ لأَنَّهُ يَرَى مَا لاَ صَبْرَ لَهُ عَلَيْهَا فَيُدْنِيهِ مِنْهَا فَإِذَا أَدْنَاهُ مِنْهَا فَيَسْمَعُ أَصْوَاتَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَقُولُ أَىْ رَبِّ أَدْخِلْنِيهَا

فَيَقُولُ يَا ابْنَ آدَمَ مَا يَصْرِينِى مِنْكَ أَيُرْضِيكَ أَنْ أُعْطِيَكَ الدُّنْيَا وَمِثْلَهَا مَعَهَا قَالَ يَا رَبِّ أَتَسْتَهْزِئُ مِنِّى وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ ». فَضَحِكَ ابْنُ مَسْعُودٍ فَقَالَ أَلاَ تَسْأَلُونِّى مِمَّ أَضْحَكُ فَقَالُوا مِمَّ تَضْحَكُ قَالَ هَكَذَا ضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. فَقَالُوا مِمَّ تَضْحَكُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « مِنْ ضِحْكِ رَبِّ الْعَالَمِينَ حِينَ قَالَ أَتَسْتَهْزِئُ مِنِّى وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ فَيَقُولُ إِنِّى لاَ أَسْتَهْزِئُ مِنْكَ وَلَكِنِّى عَلَى مَا أَشَاءُ قَادِرٌ ». رواه مسلم

“Orang yang terakhir masuk surga adalah orang yang dia sesekali berjalan dan sesekali tersungkur dan sesekali api melahatnya. Maka ketika ia telah melewatinya dia menoleh kepada neraka, lalu dia berkata: “Maha suci dzat yang menyelamatkan aku darimu, sungguh Allah telah memberikan padaku sesuatu yang tidak Dia berikan pada seorangpun dari orang terdahulu atau orang belakangan.” Lalu ditampakkan baginya sebuah pohon maka dia berkata: “Wahai Rabbku, dekatkanlah aku kepada pohon itu, maka aku akan bernaung dengan naungannya dan aku akan minum dari airnya.” Maka Allah ‘azza wa jalla berkata: “Wahai anak Adam, mungkin jika Aku mengabulkannya bagimu engkau akan meminta selainnya.” Maka dia berkata: “Tidak wahai Rabbku.” Maka Allah menjanjinya untuk tidak meminta kepada-Nya selainnya, dan Rabbnya memaafkannya karena ia melihat perkara yang tiada kesabaran atasnya. Maka Allah mendekatkannya pada pohon itu, lalu dia bernaung dengan naungannya dan dia minum dari airnya. Kemudian ditampakkan baginya sebuah pohon yang mana lebih baik dari yang pertama, maka ia berkata: “Wahai Rabbku, dekatkanlah aku padanya, agar aku bisa minum dari airnya dan aku akan bernaung dengan naungannya, aku tidak akan meminta kepada-Mu selainnya.” Maka Allah berkata: “Wahai anak Adam, bukankah kau telah berjanji pada-Ku untuk tidak meminta pada-Ku selainnya. Mungkin jika Aku mendekatkanmu padanya kau akan meminta yang lainnya.” Maka ia berjanji kepada Allah untuk tidak meminta kepada-Nya selainnya, dan Rabbnya memaafkannya karena ia melihat perkara yang tiada kesabaran atasnya. Maka Allah mendekatkannya pada pohon itu, lalu dia bernaung dengan naungannya dan dia minum dari airnya. Kemudian ditampakkan baginya sebuah pohon di sisi pintu surga yang mana lebih baik dari kedua pohon sebelumnya. Maka ia berkata: “Wahai Rabbku, dekatkanlah aku padanya agar aku bisa bernaung dengan naungannya dan minum dari airnya, aku tidak akan meminta kepada-Mu selainnya.” Maka Allah berkata; “Wahai anak Adam, bukankah kau telah berjanji pada-Ku untuk tidak meminta pada-Ku selainnya.” Dia berkata: “Benar wahai Rabbku, ini saja, aku tidak akan meminta pada-Mu selainnya.” Dan Rabbnya memaafkannya karena ia melihat perkara yang tidak bisa sabar atasnya.” Maka Allah mendekatkannya padanya, ketika dia telah didekatkan padanya, maka dia mendengar suara penduduk surga, maka dia berkata: “Wahai Rabbku, masukkanlah aku padanya.” Maka Allah berkata: “Wahai anak Adam, apa yang menjauhkan Aku darimu? Apakah engkau senang Aku beri engkau dunia dan yang sepertinya bersamanya?” Maka ia berkata: “Wahai Rabbku, apakah Engkau menghinaku sedangkan Engkau Rab semesta alam?”
Maka Ibnu Mas’ud tertawa lalu berkata: “Tidakkah kalian betanya padaku karena apa aku tertawa?” Maka mereka berkata: “Karena apa engkau tertawa?” Dia berkata: “Demikian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa. Lalu mereka berkata: “Karena apa engkau tertawa wahai Rasulullah?” Maka beliau berkata: “Karena tertawanya Rabb semesta alam ketika orang itu berkata: “Apakah Engkau menghinaku sedangkan Engkau Rabb semesta alam?” Maka Allah berkata: “Sesungguhnya Aku tidak menghinamu, akan tetapi Aku maha mampu akan apa yang Aku inginkan.”
Dan disebutkan dalam riwayat Al-Hakim dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana disebutkan Asy-Syaikh Abdullah ‘Utsman Adz-Dzamary dalam ceramahnya di Masjid At-Tauhid di kota Dzamar, Yaman, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَجْمَعُ اللَّهُ النَّاسَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُنَادِي مُنَادٍ : يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَمْ تَرْضَوْا مِنْ رَبِّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَصَوَّرَكُمْ وَرَزَقَكُمْ أَنْ يُوَالِيَ كُلُّ إِنْسَانٍ مَا كَانَ يَعْبُدُ فِي الدُّنْيَا وَيَتَوَلَّى ، أَلَيْسَ ذَلِكَ عَدْلٌ مِنْ رَبِّكُمْ ؟ قَالُوا : بَلَى ، قَالَ : فَيَنْطَلِقُ كُلُّ إِنْسَانٍ مِنْكُمْ إِلَى مَا كَانَ يَتَوَلَّى فِي الدُّنْيَا وَيُمَثَّلُ لَهُمْ مَا كَانُوا يَعْبُدُونَ فِي الدُّنْيَا ، وَقَالَ : يُمَثَّلُ لِمَنْ كَانَ يَعْبُدُ عِيسَى شَيْطَانُ عِيسَى ، وَيُمَثَّلُ لِمَنْ كَانَ يَعْبُدُ عُزَيْرًا شَيْطَانُ عُزَيْرٍ ، حَتَّى يُمَثَّلَ لَهُمُ الشَّجَرُ وَالْعُودُ وَالْحَجَرُ ، وَيَبْقَى أَهْلُ الإِسْلاَمِ جُثُومًا فَيَقُولُ لَهُمْ : مَا لَكُمْ لاَ تَنْطَلِقُونَ كَمَا انْطَلَقَ النَّاسُ ؟ فَيَقُولُونَ : إِنَّ لَنَا رَبًّا مَا رَأَيْنَاهُ بَعْدُ ، قَالَ : فَيَقُولُ : فَبِمَ تَعْرِفُونَ رَبَّكُمْ إِنْ رَأَيْتُمُوهُ ؟ قَالُوا : بَيْنَنَا وَبَيْنَهُ عَلاَمَةٌ إِنْ رَأَيْنَاهُ عَرَفْنَاهُ ، قَالَ : وَمَا هِيَ ؟ قَالُوا : السَّاقُ ، فَيُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ ، قَالَ : فَيَحْنِي كُلُّ مَنْ كَانَ لِظَهْرٍ طَبَّقَ سَاجِدًا وَيَبْقَى قَوْمٌ ظُهُورُهُمْ كَصَيَاصِي الْبَقَرِ يُرِيدُونَ السُّجُودَ فَلاَ يَسْتَطِيعُونَ ، قَالَ : ثُمَّ يُؤْمَرُونَ فَيَرْفَعُونَ رُءُوسَهُمْ فَيُعْطَوْنَ نُورَهُمْ عَلَى قَدْرٍ أَعْمَالِهِمْ ، فَمِنْهُمْ مَنْ يُعْطَى نُورَهُ مِثْلَ الْجَبَلِ بَيْنَ يَدَيْهِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُعْطَى نُورَهُ دُونَ ذَلِكَ ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُعْطَى نُورَهُ مِثْلَ النَّخْلَةِ بِيَمِينِهِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُعْطَى دُونَ ذَلِكَ حَتَّى يَكُونَ آخِرُ ذَلِكَ يُعْطَى نُورَهُ عَلَى إِبْهَامِ قَدَمِهِ يُضِيءُ مَرَّةً وَيُطْفِئُ مَرَّةً فَإِذَا أَضَاءَ قَدَّمَ قَدَمَهُ ، وَإِذَا طُفِئَ قَامَ ، فَيَمُرُّونَ عَلَى الصِّرَاطِ ، وَالصِّرَاطُ كَحَدِّ السَّيْفِ دَحْضٌ مَزِلَّةٌ ، قَالَ : فَيُقَالُ انْجُوا عَلَى قَدْرِ نُورِكُمْ فَمِنْهُمْ مَنْ يَمُرُّ كَانْقِضَاضِ الْكَوْكَبِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَمُرُّ كَالطَّرْفِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَمُرُّ كَالرِّيحِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَمُرُّ كَشَدِّ الرَّحْلِ وَيَرْمُلُ رَمَلاً فَيَمُرُّونَ عَلَى قَدْرِ أَعْمَالِهِمْ ، حَتَّى يَمُرَّ الَّذِي نُورُهُ عَلَى إِبْهَامِ قَدَمِهِ يَجُرُّ يَدًا وَيُعَلِّقُ يَدًا وَيَجُرُّ رِجْلاً وَيُعَلِّقُ رِجْلاً فَتُصِيبُ جَوَانِبَهُ النَّارُ ، قَالَ : فَيَخْلُصُونَ فَإِذَا خَلَصُوا ، قَالُوا : الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي نَجَّانَا مِنْكَ بَعْدَ إِذْ رَأَيْنَاكَ ، فَقَدْ أَعْطَانَا اللَّهُ مَا لَمْ يُعْطِ أَحَدًا ، فَيَنْطَلِقُونَ إِلَى ضَحْضَاحٍ عِنْدَ بَابِ الْجَنَّةِ وَهُوَ مُصْفَقٌ مَنْزِلاً فِي أَدْنَى الْجَنَّةِ ، فَيَقُولُونَ : رَبَّنَا أَعْطِنَا ذَلِكَ الْمَنْزِلَ ، قَالَ : فَيَقُولُ لَهُمْ :

تَسْأَلُونِي الْجَنَّةَ وَهُوَ مُصْفَقٌ وَقَدْ أَنْجَيْتُكُمْ مِنَ النَّارِ ، هَذَا الْبَابُ لاَ يَسْمَعُونَ حَسِيسَهَا ، فَيَقُولُ لَهُمْ : لَعَلَّكُمْ إِنْ أُعْطِيتُمُوهُ أَنْ تَسْأَلُونِي غَيْرَهُ ، قَالَ : فَيَقُولُ : لاَ وَعِزَّتِكَ لاَ نَسْأَلُكَ غَيْرَهُ وَأَيُّ مَنْزِلٍ يَكُونُ أَحْسَنَ مِنْهُ ، قَالَ : فَيُعْطَوْهُ فَيُرْفَعُ لَهُمْ أَمَامَ ذَلِكَ مَنْزِلٌ آخَرُ كَأَنَّ الَّذِي أُعْطَوْهُ قَبْلَ ذَلِكَ حُلْمٌ عِنْدَ الَّذِي رَأَوْهُ ، قَالَ : فَيَقُولُ لَهُمْ : لَعَلَّكُمْ إِنْ أُعْطِيتُمُوهُ أَنْ تَسْأَلُونِي غَيْرَهُ ، فَيَقُولُونَ : لاَ وَعِزَّتِكَ لاَ نَسْأَلُكَ غَيْرَهُ وَأَيُّ مَنْزِلٍ أَحْسَنُ مِنْهُ ؟ فَيُعْطَوْهُ ثُمَّ يَسْكُتُونَ ، قَالَ : فَيُقَالُ لَهُمْ ، مَا لَكُمْ لاَ تَسْأَلُونِي ؟ فَيَقُولُونَ : رَبَّنَا قَدْ سَأَلْنَا حَتَّى اسْتَحْيَيْنَا ، قَالَ : فَيَقُولُ لَهُمْ : أَلَمْ تَرْضَوْا إِنْ أَعْطَيْتُكُمْ مِثْلَ الدُّنْيَا مُنْذُ يَوْمِ خَلَقْتُهَا إِلَى يَوْمِ أَفْنَيْتُهَا وَعَشَرَةَ أَضْعَافِهَا.

قَالَ : قَالَ مَسْرُوقٌ : فَمَا بَلَغَ عَبْدُ اللهِ هَذَا الْمَكَانَ مِنَ الْحَدِيثِ إِلاَّ ضَحِكَ ، قَالَ : فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ لَقَدْ حُدِّثْتُ بِهَذَا الْحَدِيثِ مِرَارًا فَمَا بَلَغْتُ هَذَا الْمَكَانَ مِنْ هَذَا الْحَدِيثِ إِلاَّ ضَحِكْتُ ، قَالَ : فَقَالَ عَبْدُ اللهِ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ بِهَذَا الْحَدِيثِ مِرَارًا فَمَا بَلَغَ هَذَا الْمَكَانَ مِنْ هَذَا الْحَدِيثِ إِلاَّ ضَحِكَ حَتَّى تَبْدُوَ لَهَوَاتُهُ وَيَبْدُو آخِرُ ضِرْسٍ مِنْ أَضْرَاسِهِ لِقَوْلِ الإِنْسَانِ : أَتَهْزَأُ بِي وَأَنْتَ الْمَلِكُ ؟ قَالَ : فَيَقُولُ الرَّبُّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لاَ وَلَكِنِّي عَلَى ذَلِكَ قَادِرٌ فَسَلُونِي ، قَالَ : فَيَقُولُونَ : رَبَّنَا أَلْحِقْنَا بِالنَّاسِ فَيَقُولُ لَهُمُ : الْحَقُوا بِالنَّاسِ ، قَالَ : فَيَنْطَلِقُونَ يَرْمُلُونَ فِي الْجَنَّةِ حَتَّى يَبْدُوَ لِلرَّجُلِ مِنْهُمْ قَصْرٌ مِنْ دُرَّةٍ مُجَوَّفَةٍ ، قَالَ : فَيَخِرُّ سَاجِدًا ، قَالَ : فَيُقَالُ لَهُ : ارْفَعْ رَأْسَكَ فَيَرْفَعُ رَأْسَهُ ، فَيُقَالُ : إِنَّمَا هَذَا مَنْزِلٌ مِنْ مَنَازِلِكَ ، قَالَ : فَيَنْطَلِقُ فَيَسْتَقْبِلُهُ رَجُلٌ فَيَقُولُ : أَنْتَ مَلَكٌ ؟ فَيُقَالُ : إِنَّمَا ذَلِكَ قَهْرَمَانٌ مِنْ قَهَارِمَتِكَ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِكَ ، قَالَ : فَيَأْتِيهِ فَيَقُولُ : إِنَّمَا أَنَا قَهْرَمَانٌ مِنْ قَهَارِمَتِكَ عَلَى هَذَا الْقَصْرِ تَحْتَ يَدَيْ أَلْفِ قَهْرَمَانٍ كُلُّهُمْ عَلَى مَا أَنَا عَلَيْهِ ، قَالَ : فَيَنْطَلِقُ بِهِ عِنْدَ ذَلِكَ حَتَّى يُفْتَحَ الْقَصْرُ وَهُوَ دُرَّةٌ مُجَوَّفَةٌ سَقَايِفُهَا وَأَبْوَابُهَا وَأَغْلاَقُهَا وَمَفَاتِيحُهَا مِنْهَا ، فَيُفْتَحُ لَهُ الْقَصْرُ فَيَسْتَقْبِلُهُ جَوْهَرَةٌ خَضْرَاءُ مُبَطَّنَةٌ بِحَمْرَاءَ سَبْعُونَ ذِرَاعًا فِيهَا سِتُّونَ بَابًا كُلُّ بَابٍ يُفْضِي إِلَى جَوْهَرَةٍ وَاحِدَةٍ عَلَى غَيْرِ لَوْنِ صَاحِبَتُهَا

فِي كُلِّ جَوْهَرَةٍ سُرَرٌ وَأَزْوَاجٌ وَتَصَارِيفُ أَوْ قَالَ : وَوَصَائِفُ قَالَ : فَيَدْخُلُ فَإِذَا هُوَ بَحَوْرَاءَ عَيْنَاءَ عَلَيْهَا سَبْعُونَ حُلَّةٌ يُرَى مُخُّ سَاقِهَا مِنْ وَرَاءِ حُلَلِهَا كَبِدُهَا مِرْآتُهُ وَكَبِدُهُ مِرْآتُهَا ، إِذَا أَعْرَضَ عَنْهَا إِعْرَاضَةً ازْدَادَتْ فِي عَيْنِهِ سَبْعِينَ ضِعْفًا عَمَّا كَانَ قَبْلَ ذَلِكَ ، فَيَقُولُ : لَقَدِ ازْدَدْتِ فِي عَيْنِي سَبْعِينَ ضَعْفًا ، وَتَقُولُ لَهُ مِثْلَ ذَلِكَ ، قَالَ : فَيُشْرِفُ بِبَصَرِهِ عَلَى مِلْكِهِ مَسِيرَةَ مِائَةِ عَامٍ قَالَ : فَقَالَ عُمَرُ عِنْدَ ذَلِكَ : يَا كَعْبُ أَلاَ تَسْمَعُ إِلَى مَا يُحَدِّثُنَا ابْنُ أُمِّ عَبْدٍ عَنْ أَدْنَى أَهْلِ الْجَنَّةِ مَالَهُ فَكَيْفَ بِأَعْلاَهُمْ ؟ قَالَ : يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ مَا لاَ عَيْنٌ رَأَتْ ، وَلاَ أُذُنٌ سَمِعَتْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ فَوْقَ الْعَرْشِ وَالْمَاءِ فَخَلَقَ لِنَفْسِهِ دَارًا بِيَدِهِ فَزَيَّنَهَا بِمَا شَاءَ وَجَعَلَ فِيهَا مِنَ الثَّمَرَاتِ وَالشَّرَابِ ، ثُمَّ أَطْبَقَهَا فَلَمْ يَرَهَا أَحَدٌ مِنْ خَلْقِهِ مُنْذُ يَوْمِ خَلَقَهَا لاَ جِبْرِيلُ وَلاَ غَيْرُهُ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ ، ثُمَّ قَرَأَ كَعْبٌ فَلاَ تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ وَخَلَقَ دُونَ ذَلِكَ جَنَّتَيْنِ فَزَيَّنَهُمَا بِمَا شَاءَ وَجَعَلَ فِيهِمَا مَا ذَكَرَ مِنَ الْحَرِيرِ وَالسُّنْدُسِ وَالإِسْتَبْرَقِ ، وَأَرَاهُمَا مَنْ شَاءَ مِنْ خَلْقِهِ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ ، فَمَنْ كَانَ كِتَابُهُ فِي عِلِّيِّينَ يُرَى فِي تِلْكَ الدَّارِ ، فَإِذَا رَكِبَ الرَّجُلُ مِنْ أَهْلِ عِلِّيِّينَ فِي مِلْكِهِ لَمْ يَنْزِلْ خَيْمَةً مِنْ خِيَامِ الْجَنَّةِ إِلاَّ دَخَلَهَا مِنْ ضَوْءِ وَجْهِهِ ، حَتَّى إِنَّهُمْ يَسْتَنْشِقُونَ رِيحَهُ وَيَقُولُونَ : وَاهًا لِهَذِهِ الرِّيحِ الطَّيِّبَةِ ، وَيَقُولُونَ : لَقَدْ أَشْرَفَ عَلَيْنَا الْيَوْمَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ عِلِّيِّينَ ، فَقَالَ عُمَرُ : وَيْحَكَ يَا كَعْبُ إِنَّ هَذِهِ الْقُلُوبَ قَدِ اسْتَرْسَلَتْ فَاقْبِضْهَا ، فَقَالَ كَعْبٌ : يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّ لِجَهَنَّمَ زَفْرَةً مَا مِنْ مَلَكٍ مُقَرَّبٍ وَلاَ نَبِيٍّ إِلاَّ يَخِرُّ لِرُكْبَتَيْهِ حَتَّى يَقُولَ إِبْرَاهِيمُ خَلِيلُ اللهِ : رَبِّ نَفْسِي نَفْسِي ، وَحَتَّى لَوْ كَانَ لَكَ عَمَلُ سَبْعِينَ نَبِيًّا إِلَى عَمَلِكَ لَظَنَنْتَ أَنْ لاَ تَنْجُوَ مِنْهَا.

“Allah akan mengumpulkan manusia pada hari kiamat maka berserulah seorang penyeru: “Wahai sekalian manusia, tidakkah kalian merelakan Rabb kalian yang telah menciptakan kalian, yang membentuk kalian dan yang telah memberi rizqi pada kalian untuk menyerahkan setiap orang kepada apa yang dia sembah di dunia dan dia berpaling kepadanya. Bukankah itu adalah keadilan dari Rabb kalian?” Mereka berkata: “Tentu”. Dia berkata: “Maka beranjaklah setiap orang dari kalian kepada apa yang ia berpaling padanya di dunia.” Dan diperlihatkan pada mereka apa yang mereka sembah di dunia. Dia berkata: “Diperlihatkan bagi yang menyembah ‘Isa syaithan yang menjelma sebagai ‘Isa, diperlihatkan bagi yang menyembah ‘Uzair syaithan yang menjelma sebagai ‘Uzair, sampai diperlihatkan bagi mereka pohon, kayu dan batu.” Dan pemeluk islam tetap dalam keadaan berjongkok, maka dia berkata pada mereka: “Kenapa kalian tidak beranjak sebagaimana manusia beranjak?” Maka mereka berkata: “Sesungguhnya kami memeliki Rabb (sesembahan) yang kami belum melihatnya.” Maka ia berkata: “Lalu dengan apa kalian mengetahui Rabb kalian jika kalian melihatnya?” Mereka berkata: “Antara kami dengan Dia ada suatu tanda, jika kami melihat-Nya kami akan mengetahui-Nya.” Dia berkata: “Apa tanda itu?” Mereka berkata: “Betis.” Maka disingkaplah suatu betis. Maka tersungkurlah setiap orang di permukaan melakukan sujud dan tersisalah suatu kaum yang punggung mereka seperti tembok kandang sapi, mereka ingin sujud namun mereka tidak mampu. Kemudian mereka diperintah lalu mereka mengangkat kepala mereka lalu mereka diberi cahaya mereka sesuai dengan kadar amalan mereka. Diantara mereka ada yang diberi cahayanya seperti gunung di depannya, diantara mereka ada yang diberi cahayanya lebih sedikit dari itu, diantara mereka ada yang diberi cahayanya seperti kurma di tangan kanannya, dan diantara mereka ada yang diberi dibawah itu sampai yang terakhir diberi cahayanya pada jempol kakinya, sesekali bersinar dan sesekali padam, jika bersianar dia memajukan kakinya dan jika padam dia diam berdiri. Lalu mereka melewati shirath, dan shirath itu setajam pedang begitu licin dan menggelincirkan. Maka dikatakan: “Selamatkan diri kalian sesuai dengan kadar cahaya kalian.” Maka diantara mereka ada yang melewati shirath seperti jatuhnya bintang, diantara mereka ada yang melewatinya seperti kedipan mata, diantara mereka ada melewatinya seperti angina, diantara mereka ada yang melewatinya seperti orang yang jalan cepat dan lari-lari kecil maka mereka lewat sesuai dengan amalan mereka. Sampai lewatlah orang yang cahayanya pada jempol kakinya, dia menarik tangan dan menggantungkan tangan, menarik kaki dan menggantungkan kaki yang lain, maka terkenalah beberapa sisinya oleh api. Maka terbebaslah mereka, jika telah terbebas mereka berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kami darimu setelah kami melihatmu. Sungguh Allah telah memberi kami sesuatu yang tidak Dia berikan pada seorangpun.” Maka mereka beranjak menuju air dangkal di sisi pintu surga, dan ia menghadap sebuah rumah di surga yang paling rendah, lalu mereka berkata: “Wahai Rabb kami, berilah kami rumah itu.” Maka Allah berkata pada mereka: “Kalian memintaku surga dalan keadaan dia menghadap, dan Aku telah menyelamatkan kalian dari neraka, pintu ini tidaklah mereka mendegar deritannya.” Maka Allah berkata: “Mungkin jika aku berikan ia pada kalian, kalian akan meminta-Ku selainnya.” Mereka berkata: “Tidak demi kemulian-Mu, kami tidak akan meminta kepada-Mu selainnya bahkan rumah manapun yang lebih baik darinya.” Maka Allah memberikannya lalu ditampakkan pada mereka di depannya rumah yang lain, seakan-akan yang diberikan sebelum itu adalah mimpi ketika mereka melihatnya. Maka Allah berkata: “Mungkin jika kalian Aku beri itu kalian akan meminta-Ku selainnya.” Mereka berkata: “Tidak demi kemuliaan-Mu, kami tidak akan meminta kepada-Mu selainnya bahkan rumah manapun yang lebih baik darinya.” Maka Allah memberikannya pada mereka, kemudian mereka diam. Kemudian dikatakan pada mereka: “Kenapa kalian tidak meminta pada-Ku?” Mereka berkata: “Wahai Rabb kami, kami telah meminta pada-Mu sampai kami merasa malu.” Maka dikatakan pada mereka: “Tidakkah kalian ridha jika Aku beri kalian seperti dunia dari semenjak Aku menciptakannya sampai hari Aku melenyapkannya, sekaligus sepuluh lipat sepertinya.”
Abdullah bin Mas’ud berkata: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan hadits ini berkali-kali, tidaklah beliau sampai pada kisah ini dalam hadits kecuali ia tertawa sampai tampak anak tekaknya dan nampak gigi serinya yang terakhir dikarenakan ucapan orang tersebut: “Apakah engkau menghinaku sedangkan Engkau adalah Raja?” Allah berkata: “Tidak, akan tetapi maha mampu akan hal itu, maka mintalah kalian pada-Ku.” Maka mereka berkata: “Wahai Rabb, ikutkan kami dengan manusia.” Allah berkata pada mereka: “Ikutlah kalian pada manusia.” Maka mereka beranjak dan berlari kecil dalam surga sampai nampak bagi seorang dari mereka istana dari permata yang berongga. Maka mereka tersungkur sujud. Lalu dikatakan pada mereka: “Angkatlah kepalamu!” Maka dia mengangkat kepalanya. Maka dikatakan: “Sesungghunya ini adalah rumah dari rumah-rumahmu.” Maka ia beranjak maka seseorang menyambutnya maka ia berkata: “Apakah engkau malaikat?” Maka dikatakan: “Sesungguhnya aku adalah salah satu kepala rumah tanggamu terhadap istana ini, ada seribu kepala rumah tangga dibawah pimpinanku, semuanya bertugas seperti tugasku.” Maka dia beranjak bersamanya di saat itu sampai dibukakan istana yang mana ia adalah permata berongga, atapnya, pintunya, gemboknya dan kuncinya dari permata itu. Lalu dibukakan baginya istana itu, maka dia disambut oleh permata hijau yang dilapisi warna merah sebesar tujuh puluh hasta, padanya ada enam puluh pintu, setipa pintu mengantarkan pada sebuah permata yang tidak satu warna dengan pemiliknya. Pada setiap permata ada dipan-dipan, istri-istri dan penggiliran atau dukatakan dan sifat-sifat. Maka dia masuk, ternyata ia adalah wanita surga yang lebar matanya, dia memiliki tujuh puluh pakaian, terlihat sungsum betisnya dari balik pakaiannya, hati wanita surga itu adalah cermin bagi orang ini dan hati orang ini cermin bagi wanita surga tersebut. Jika orang ini berpaling darinya satu palingan bertambah pada dua matanya tujuh puluh lipat apa yang terjadi sebelumnya. Maka dia berkata: “Sungguh engkau telah bertambah pada mataku tujuh puluh kali lipat.” Maka wanita itu berkata seperti yang dia katakan. Maka dia mengamati kerajaannya dengan pandangannya sepanjang perjalanan seratus tahun. Maka ‘Umar berkata: “Wahai Ka’ab, tidakkah engkau mendengar apa yang disampaikan Ibnu Ummi ‘Abd kepada kita tentang penduduk surga yang paling rendah apa yang tersedia untuknya? Lalu bagaimana dengan yang paling tinggi derajatnya?” Ka’ab berkata: “Wahai Amirul Mukminin, sesuatu yang belum pernah terlihat oleh mata, belum pernah terdengar oleh telinga. Sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arsy dan air, lalu Dia menciptakan untuk diri-Nya sebuah rumah dengan tangan-Nya, lalu dia menghiasinya dengan apa yang Dia kehendaki dan Dia menjadikan padanya ada berbagai buah dan berbagai minuman, kemudian Allah menutupinya belum ada seorangpun yang melihatnya dari makhluk-Nya semenjak hari diciptakannya, tidak Jibril, tidak pula selainnya dari malaikat.” Kemudian Ka’ab membaca: “Maka tidaklah suatu jiwa mengetahui apa yang disembunyikan (dipersiapkan) bagi mereka berupa kenikmatan yang menyejukkan mata.” Dan menciptakan selain dari itu dua surga lalu Dia menghiasinya dengan apa yang Dia kehendaki, dan Dia menjadikan pada keduanya apa yang telah dia sebutkan berupa sutra, dan Dia perlihatkan dua surga itu kepada siapa yang Dia kehendaki dari makhluknya dari kalangan malaikat. Siapa yang kitabnya berada di ‘Illiyin, ditampakkan dalam rumah itu. Jika seorang penghuni ‘Illiyin naik dalam kerajaannya maka dia tidaklah turun pada suatu kemah dari kemah-kemah surga kecuali ia memasukinya dari cahaya wajahnya, sampai-sampai mereka menghirup baunya dan berkata: “Hebatnya bau yang wangi ini.” Dan mereka berkata: “Telah naik kepada kita hari ini seseorang dari penghuni ‘Illiyin.” Maka ‘Umar berkata: “Celakanya engkau wahai Ka’ab, sesungguhnya kalbu-kalbu itu bisa melesat maka tehanlah dengan kuat.” Maka Ka’ab berkata: “Wahai Amirul Mukiminin sesungguhnya jahanam memiliki desahan, tidaklah ada malaikat yang didekatkan tidak pula nabi kecuali akan tersungkur pada kedua lututnya sampai berkata Ibrahim khalilullah: “Wahai Rabbku, diriku, diriku.” Dan sampaipun engkau memiliki amalan tujuh puluh orang nabi ditambahkan kepada amalanmu, niscaya engkau menyangka bahwa engkau tidak akan selamat darinya.”

Dari hadits di atas, jelas tergambar, yang membuat kita bertanya sebagaiamana ‘Umar bertanya: “Kalau ini adalah bagi yang paling rendah lalu bagaimana dengan yang paling tigggi?”
Apakah kita akan duduk sekedar mengharap yaang paling rendah, atau kita mesti buerusaha mengejar setinggi mungkin. Orang cerdas akan menjawab: “Aku harus mengejar derajat jannah setinggi mungkin.”
Maka orang ini harus ditanya: “Bagaimana engkau bisa mengejarnya, apakah engkau tahu caranya?”
Maka kita harus membantu menjawab: “Ada caranya, dan gampang. Salah satu yang bisa ditempuh adalah dengan menuntut ilmu.”
Telah lewat pada pembahasan sebelumnya bahwa menuntut ilmu akan mengantarkan dia untuk dengan mudah bisa menempuh jalan menuju jannah.
Waffaqaniyallahu lima yuhibbuhu wa yardhahu.

keindahan surga : belum pernah terlihat oleh mata, belum pernah terdengar telinga, belum pernah terlintas di hati manusia


Rosululloh SAW bersabda: “Sesungguhnya rombongan pertama yang masuk surga (dari ummatku) bercahaya baga

dikerjakan ringan berpahala besar


Setiap orang muslim di antara kita tentu menginginkan berumur panjang supaya bertambah kebaikannya. Seperti yang disabdakan oleh Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau ditanya, “Siapakah orang yang paling baik itu?” Beliau menjawab “Yaitu orang yang panjang umurnya dan baik amalannya.” (HR. at-Tirmidzi dan Ahmad).
Kehidupan di dunia ini merupakan tempat untuk menambah dan memperbanyak amalan-amalan yang baik agar manusia bahagia setelah kematiannya serta rela dengan apa yang ia kerjakan.
Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitahukan bahwa umur umatnya ini antara enam puluh sampai tujuh puluh tahun, mereka tidak seperti umur umat sebelumnya. Tetapi beliau telah menunjukkan mereka kepada perbuatan maupun ucapan yang dapat mengumpulkan pahala yang banyak dengan amalan yang sedikit lagi mudah, yang dapat menggantikan manusia dari tahun-tahun yang berlalu jika dibandingkan dengan umur sebelumnya. Inilah yang dinamakan dengan “al-A’maal al-Mudhoo’afah” (amalan-amalan yang berlipat ganda) yang tidak semua orang mengetahuinya.
Oleh karena itu, saya hendak menyebutkan sebagian besar dari amalan-amalan yang mudah lagi berlipat ganda tersebut pada tulisan yang singkat ini. Dengan harapan agar setiap orang di antara kita menambah umurnya (dengan amalan) yang produktif dalam kehidupan dunia ini. Agar tergolong dari orang-orang yang mengerti (untuk mengambil) selanya, (kata pepatah :) “Darimanakah bahu (hewan sembelihan itu) dimakan”. Maka mereka memilih dari amalan-amalan tersebut mana yang paling ringan (dikerjakan) oleh jiwa dan paling besar pahalanya. Orang seperti ini bagaikan orang yang mengumpulkan permata-permata yang berharga dari dasar laut sementara manusia yang lain (hanya) mendapatkan ombaknya saja.
Berikut ini akan kami sebutkan amalan-amalan maupun ucapan-ucapan secara berurutan dan singkat, dengan disertai dalil dari setiap ucapan atau amalan yaitu dalil-dalil dari Kitabulloh atau dari hadits-hadits yang shohih danhasan. Alloh-lah Yang Maha Pemberi taufiq untuk setiap kebaikan.
1.      Silaturahmi. Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa ingin dilapangkan rejekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya menyambung (tali) silaturahminya.” (HR. al-Bukhori dan Muslim).
2.      Berakhlak yang mulia, Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Silaturahmi, berbudi mulia, dan ramah pada tetangga (dapat) mendirikan kabilah dan menambah umur.” (HR. Ahmad dan al-Baihaqi).
3.      Memperbanyak sholat di “Haromain Syarifain”, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Sholat di masjidku ini (Masjid Nabawi) lebih baik dari seribu (sholat) daripada yang lain kecuali Masjid Harom, dan sholat di Masjid Harom itu lebih baik dari seratus ribu (sholat) dari pada yang lain.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
4.      Sholat berjamaah bersama imam, berdasarkan sabda Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Sholat berjamaah itu lebih baik dari pada sholat sendiri dengan dua puluh tujuh derajat.” (HR. al-Bukhori dan Muslim).
Adapun perempuan sholat di rumah, dan hal itu lebih baik dari pada mereka sholat di masjid, walaupun di Masjid Nabawi. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu Humaid radhiyallahu ‘anha–salah satu dari shohabiyat, “Aku tahu bahwa kamu senang sholat bersamaku, tapi sholatmu di rumahmu itu lebih baik bagimu daripada sholatmu di kamarmu. Dan sholatmu di kamarmu itu lebih baik bagimu dari pada sholatmu di tempat tinggalmu. Dan sholatmu di tempat tinggalmu lebih baik bagimu daripada sholatmu di masjid kaummu. Dan sholatmu di masjid kaummu lebih baik bagimu daripada sholatmu di masjidku (Masjid Nabawi).” (HR. Ahmad).
Lalu setelah ini beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sholat di penghujung rumahnya di tempat yang  gelap sampai beliau menemui ajalnya.
5.      Melaksanakan sholat nafilah (sunnah) di rumah, berdasarkan sabda beliau        “Keutamaan sholat seseorang laki-laki di rumahnya dengan sholat yang dilihat oleh orang banyak seperti halnya keutamaan sholat fardhu atas sholat sunnah.” (HR. al-Baihaqi dan dishohihkan oleh al-Albani rahimahullah).
Bukti yang menguatkan hal itu juga sabda Rosulloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shohih :
“Sebaik-baiknya sholat seseorang adalah di rumahnya kecuali sholat wajib.” (HR. al-Bukhori dan Muslim)
6.      Berhias dengan beberapa adab pada hari Jumat, yaitu yang terdapat pada sabdanya        :
“Barangsiapa mandi (janabat) pada hari Jumat, kemudian berangkat di awal waktu, mendapatkan khutbah pertama, berjalan kaki tidak naik kendaraan, mendekati imam, mendengarkan khutbah dan tidak berbicara, maka baginya setiap langkahnya adalah (bagaikan) amalan setahun dari pahala puasa dan sholat (tarawih)nya.” (HR. Ahlus Sunan).
Artinya “ghossala” adalah membasuh kepalanya, dan ada yang mengartikannya sebagai menggauli istrinya agar pandangannya tidak melihat yang haram pada hari itu. Sedang arti “bakkaro” adalah berangkat (ke masjid) di awal waktu. Dan ”Ibtakaro” adalah mendapatkan khutbah pertama.
7.      Sholat Dhuha, berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bila masuk waktu pagi maka setiap jari-jari tangan kamu ada kewajiban shodaqoh, lalu setiap (bacaan) tasbih adalah shodaqoh, tahmid adalah shodaqoh, tahlil adalah shodaqoh, takbir adalah shodaqoh, amar ma’ruf adalah shodaqoh, nahi mungkar adalah shodaqoh, dan cukup dari itu semuanya dengan sholat dua rakaat waktu Dhuha.” (HR. Muslim).
Makna “sulamaa” adalah lipatan-lipatan organ tubuh seseorang yang berjumlah tiga ratus enam puluh lipatan / engsel.
Sebaik-baiknya waktu sholat Dhuha adalah ketika matahari sangat panas, berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Sholat orang-orang yang bertobat itu ketika anak unta terasa sangat panas.” (HR. Muslim).
Maksudnya, tatkala anak unta itu berdiri dari tempatnya karena terik matahari yang sangat panas.
8.      Menghajikan orang lain atas biayanya setiap tahun, berdasarkan sabdanya  Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kerjakanlah haji dan umroh itu berturut-turut, karena sesungguhnya ia (dapat) menghilangkan kefakiran dan dosa seperti ubupan (alat peniup api) tukang besi yang menghilangkan karat besi, emas, dan perak.” (HR. At-Tirmidzi dan dishohihkan oleh al-Albani rahimahullah).
Kadang-kadang seseorang tidak bisa melakukan haji setiap tahun. Oleh karena itu, hendaknya ia menghajikan orang lain atas biayanya- yang mampu badannya (dalam mengadakan perjalanan ke Baitulloh).
9.      Sholat setelah terbitnya matahari, berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Barangsiapa sholat Subuh dengan berjamaan (di masjid), kemudian ia duduk sambil berdzikir kepada Alloh sampai terbitnya matahari, lalu sholat dua rakaat, maka baginya seperti pahala ibadah haji dan umroh yang sempurna, yang sempurna, dan yang sempurna.” (HR. At-Tirmidzi dan dishohihkan oleh al-Albani rahimahullah)
10.  Menghadiri halaqoh-halaqoh ilmu di masjid, berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Barangsiapa berangkat ke masjid dia tidak menginginkan kecuali untuk belajar sesuatu kebaikan atau mengajarkannya, maka baginya adalah seperti pahala orang yang beribadah haji dengan sempurna.” (HR. Ath-Thobroni dan dishohihkan oleh al-Albani rahimahullah)

11.  Melaksanakan umroh pada bulan Romadhon, berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Umroh di bulan Romadhon sama dengan haji bersamaku.” (HR. Al-Bukhori).
12.  Melaksanakan sholat lima waktu di masjid, berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Barangsiapa keluar dari rumahnya dalam keadaan suci untuk sholat fardhu, maka pahalanya seperti pahala haji.” (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh al-Albani rahimahullah).
Dan yang lebih utama agar keluar dari rumahnya sudah dalam keadaan suci, bukan bersuci di masjid, kecuali dalam keadaan terpaksa dan darurat.
13.  Hendaknya berada di shof yang pertama, berdasarkan ucapan ’Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memintakan ampunan (kepada Alloh) bagi orang yang berada di shof yang pertama ”tiga kali”, dan shof yang kedua ”satu kali”. (HR. An-Nasa’i dan Ibnu Majah).
Dan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga, “Sesungguhnya Alloh dan malaikatNya membacakan sholawat kepada orang-orang yang berada di shof pertama.” (HR. Ahmad dengan sanad yang baik).
14.  Sholat di masjid Quba, berdasarkan sabda Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Barangsiapa bersuci dari rumahnya, kemudian ia datang ke Masjid Quba, lalu sholat di dalamnya, maka baginya seperti pahala umroh.” (HR. An-Nasa’i dan Ibnu Majah).
15.  Menjadi mu’adzin (tukang adzan), berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tukang adzan itu akan diampuni (dosanya) sepanjang suaranya (terdengar), dan dibenarkan oleh orang yang mendengarkannya, baik basah maupun kering, dan juga baginya pahala orang yang sholat bersamanya.” (HR. Ahmad dan an-Nasa’i).
Apabila anda tidak dapat menjadi tukang adzan, maka paling tidak anda harus mendapatkan pahala yang setimpal dengannya, yaitu amalan berikut.
16.  Agar mengucapkan seperti yang dikatakan oleh mu’adzin itu, berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Katakanlah seperti yang dikatakan oleh mu’adzin. Bila kamu sudah selesai, maka mohonlah (kepada Alloh) niscaya Dia akan memberimu.” (HR. Abu Dawud dan an-Nasa’i).
Maksudnya, memohonlah setelah kamu selesai menjawab mu’adzin itu.
17.  Puasa Romadhon dan enam hari di bulan Syawwal setelahnya, berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barangsiapa pusa Romadhon kemudian diikuti enam hari di bulan Syawwal, maka (pahalanya) seperti puasa setahun.” (HR. Muslim).
18.  Puasa tiga hari setiap bulan (tanggal 13, 14, dan 15, bulan Qomariyah), berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Barangsiapa puasa tiga hari dari setiap bulan, maka itulah (pahalanya seperti) puasa setahun.”
Kemudian Alloh menurunkan firmanNya sebagai pembenaran dalam KitabNya, “Barangsiapa membawa amal yang baik , maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya.” (QS. Al-An’an : 160) “Satu hari sama dengan sepuluh hari.” (HR. at-Tirmidzi).
19.  Memberikan makanan untuk berbuka puasa bagi orang-orang yang berpuasa, berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Barangsiapa memberikan makanan untuk berbuka puasa bagi orang-orang yang berpuasa, maka baginya seperti pahala tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala orang yang berpuasa itu.” (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

20.  Sholat pada malam “Lailatul Qodr”, berdasarkan firman Alloh Ta’ala, ”Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al-Qodr : 3).

Maksudnya, lebih baik daripada ibadah selama delapan puluh tiga tahun.
21.  Jihad, berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kedudukan seseorang yang shof (jihad) fi sabilillahlebih baik daripada ibadah enam puluh tahun.” (HR. al-Hakim dan dishohihkan oleh al-Albani rahimahullah)
Hal ini merupakan keutamaan kedudukan / posisi dalam shof (jihad), lalu bagaimana dengan orang yang berjihad fi sabilillah dalam tempo berhari-hari, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun.
22.  Ar-Ribath (bersiap siaga di perbatasan musuh), berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa tetap bersiap-siaga  ( di perbatasan musuh) fi sabilillah dalam satu hari satu malam, maka baginya pahala seperti puasa satu bulan penuh dengan sholat malamnya. Dan barangsiapa meninggal dalam keadaan bersiap-siaga, maka baginya seperti itu juga pahalanya, dan ia diberikan rejeki, serta diamankan dari fitnah (siksa kubur).” (HR. Muslim).

23.  Amal sholih pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah, berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak ada hari-hari di mana amal sholih yang dilakukan dalam sepuluh hari pertama (di bulan Dzulhijjah) lebih dicintai oleh Alloh dari hari-hari lainnya.” Para sahabat berkata, “Wahai Rosululloh, tidakkah jihad di jalan Alloh lebih utama?” Beliau menjawab, “Tidak juga berjihad di jalan Alloh, kecuali seseorang yang keluar dengan diri dan hartanya, dan tidak kembali darinya dengan membawa sesuatu.” (HR. al-Bukhori).

24.  Mengulang-ulangi beberapa surat al-Qur’an, berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Surat ‘al-Ikhlash’ sama dengan sepertiga al-Qur’an dan Surat al-Falaq’ sama dengan seperempat al-Qur’an.” (HR. At-Thobroni dan dishohihkan oleh al-Albani rahimahullah)
25.  Berdzikir yang pahalanya berlipat ganda dan hal ini banyak (macamnya).
Di antaranya bahwa Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika keluar dari (rumah istrinya), Ummul Mukminin Juwairiyah radhiyallahu ‘anha di saat pagi hari ketika beliau sholat Subuh, sedang dia berada di tempat sholatnya. Kemudian Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang setelah sholat Dhuha sementara Ummul Mukminin sedang duduk (di tempat sholatnya), seraya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ”Masihkah engkau dalam keadaan yang tatkala aku tinggalkan?” Ummul Mukminin menjawab, ”Ya, benar.” Lalu beliau bersabda, ”Aku telah mengucapkan empat kalimat tiga kali setelahmu, seandainya kalimat-kalimat itu ditimbang dengan apa yang kamu ucapkan mulai hari ini, pasti (kalimat-kalimat itu) akan lebih berat, yaitu : ”Maha Suci Alloh, aku memuji-Nya sebanyak bilangan makhluk-Nya, sejauh kerelaanNya, seberat timbangan ’Arsy-Nya, dan sebanyak tinta tulisan kalimat-Nya.” (HR. Muslim).
Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatku sedang aku menggerakkan bibirku lalu beliau bertanya, ”Apa yang kamu ucapkan, wahai Abu Umamah?” Saya menjawab, ”Saya berdzikir dan menyebut Alloh.” Kemudian (beliau mengajariku) lalu bersabda, ”Maukah kamu aku tunjukkan kepada yng lebih banyak (pahalanya) dalam berdzikir kepada Alloh di siang hari dan malam hari? Maka ucapkanlah :
”Segala puji bagi Alloh sebanyak bilangan apa yang Dia ciptakan. Segala puji bagiNya sepenuh apa yang Dia ciptakan. Segala puji bagiNya sebanyak apa yang (terdapat) dalam langit dan bumi. Segala puji bagiNya sebanyak apa yang terhitung dalam kitabNya. Segala puji bagiNya sepenuh apa yang terhitung dalam kitabNya. Segala puji bagiNya sebanyak bilangan segala sesuatu. Dan segala puji bagiNya sepenuh segala sesuatu.”
Dan hendaklah kamu bertasbih kepada Alloh seperti itu.” Lalu beliau meneruskan sabdanya, ”Pelajarilah (doa-doa itu) dan ajarilah orang-orang setelahmu.” (HR. Ath-Thobroni dan dishohihkan oleh al-Albani rahimahullah)
26.  Istighfar yang berlipat ganda, berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Barangsiapa memintakan ampunan bagi orang-orang mukmin maupun mukminah, maka Alloh akan menulis baginya dari setiap orang mukmin maupun mukminah sebagai satu kebajikan.” (HR. Ath-Thobroni dan dishohihkan oleh al-Albani rahimahullah)

27.  Melaksanakan kepentingan manusia, berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya bila aku berjalan dengan saudaraku muslim untuk memenuhi suatu hajatnya lebih saya cintai daripada saya beri’tikaf di masjid selama satu bulan.” (HR. Ibnu Abi Dun-yaa  dan dihasankan oleh al-Albani rahimahullah)

28.  Perbuatan-perbuatan yang pahalanya senantiasa mengalir sampai setelah mati yaitu yang dijelaskan dalam hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ada empat macam pahala yang selalu mengucur (pahalanya walaupun) setelah meninggal : [1] Seseorang yang selalu siap siaga (di perbatasan musuh) di jalan Alloh. [2] Seseorang yang mengajarkan suatu ilmu, maka pahalanya akan selalu mengucur selama ilmu itu diamalkan. [3] Seseorang yang memberi shodaqoh, maka pahalanya akan selalu mengucur (kepadanya) selama (shodaqoh tersebut) dipergunakan. [4] Seorang ayah yang meninggalkan anak yang sholih yang mendoakan kepadanya.” (HR. Ahmad dan ath-Thobroni).

29.  Mempergunakan waktu, hendaknya seorang muslim menggunakan waktunya dengan ketaatan (kepada Alloh). Seperti membaca al-Qur’an, berdzikir, ibadah, mendengarkan kaset-kaset yagn bermanfaat, agar waktunya tidak sia-sia belaka dan agar ia tidak dilalaikan di mana saat itu tidak bermanfaat lagi kelalaian, seperti yang disabdakan oleh Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Dua nikmat yang (sering) dilupakan oleh kebanyakan orang, yaitu kesehatan dan kekosongan (waktu).” (HR. Al-Bukhori).
Alloh-lah Yang Maha Memberikan taufiq kepada kita semua agar umur kita dipanjangkan olehNya dalam kebaikan. Dan dapat mempergunakan kesempatan-kesempatan yang berlipat ganda (pahalanya), di mana kebanyakan orang melalaikannya.
 Ustadz Farid Muhammad al-Bathothy, Lc (Dosen STAI Ali bin Abi Thalib Surabaya)
Sumber: Majalah Adz-Dzakhiirah Edisi 70 :: Vol. 9 No. 04 :: 1432H/2011M