Translate

Kelembutan Akhlak Menjadi Jalan Hidayah

Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu, Allah yang maha memberikan jalan hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki.
Alkisah di kota Cilacap, ada seorang anak SMP yang bernama Sarimin. Kemudian di sekolah itu ada seorang anak murid yang bernama Hendri. Dia beragama Katolik. Hendri minder karena dia merasakan anak-anak islam yang lainnya galak. Sering memusuhinya, sering menakali dan disisihkan dari pergaulan. Satu-satunya anak yang mau berteman dengan Hendri adalah Sarimin yang anak miskin dan sederhana. Namun sikap Sarimin sangat baik sekali kepada Hendri. Kalau ada yang mengganggu Hendri, Sarimin yang melindungi seraya berkata, “Hayo jangan gitu dong, kita ini kan sama-sama sedang belajar disini”.
Sampai merekapun menjadi dua orang sahabat karib. Dimana ada Hendri, disitu ada Sarimin. Dimana ada Sarimin, disitu ada Hendri. Sampailah persahabatan mereka berlanjut ketika SMA. Di SMA, Hendri juga bernasib sama ketika dia di SMP. Hendri adalah seorang minoritas diantara banyak teman-temannya yang muslim. Kalau Hendri sakit, hanya Sariminlah yang menjenguk dan memijat kakinya.
Sampai suatu saat, Sarimin bermaksud ingin mengajak Hendri untuk main ke rumahnya. Hendri pun panik seraya berkata dalam hati, “Wah jangan-jangan yang baik hanya Sarimin saja nih. kakaknya, bapaknya serta anggota keluarga Sarimin yang lain jangan-jangan galak. Kan orang Islam”. Tapi karena undangan dari seorang sahabat Hendri mau datang. Alangkah terkejutnya Hendri karena begitu datang, bapaknya menyambut dengan sangat baik kepada Hendri. Kakak Sarimin juga berlaku lembut kepada Hendri. Sampai ketika akan makan bersama di depan meja makan, bapak Sarimin berkata, “Nak Hendri, kami mau berdoa menurut agama Islam. Kalau nak Hendri mau berdoa sesuai agama Katolik, silahkan sebelum kita makan”. Begitu mau pulang kakak Sarimin berkata, “Hendri, jangan sungkan-sungkan ya, kapan-kapan mampirlah ke gubuk kami lagi”. Persahabatan mereka berdua berlangsung sampai kelas tiga SMA.
Yang memisahkan mereka berdua adalah sarimin kuliah di Univ. Syarif Hidayatullah Jakarta dan Hendri kuliah di Theologi Yogyakarta. Pada jaman itu belum ada handphone seperti sekarang ini. Sampai akhirnya pada semester 6, benar-benar di kampus Theologi itu orang-orang terbeli dengan akhlak Hendri. Begitu lembut, begitu baik, begitu mau menghormati orang lain.
Sampai suatu ketika pasturnya bertanya, “Hendri, kamu kok baik banget. Saya ingin bertanya, siapa pastur kamu dulu ketika di SMA?”.
Lalu Hendri menjawab, “Maaf pastur, guru saya adalah Sarimin”.
“Siapa Sarimin? Masa ada pastur namanya Sarimin?”.
“Memang Sarimin bukan seorang pastur. Tapi Sarimin adalah sahabat saya. Dia seorang Islam”.
Sampailah semester 8, Hendri belajar tentang perbandingan agama. Dan dia belajar tentang biografi Nabi Muhammad SAW. Begitu lembar demi lembar dia baca tiap malam, tak terasa air matanya bercucur deras, berlinang membasahi buku itu. Dan sampai mulutnya bergetar seraya berkata, “Ya Tuhan, pantas begitu mulianya akhlak Sarimin. Ini nabinya luar biasa, belum pernah saya temukan tokoh semulia akhlak Muhammad SAW. Luar biasa, pantas akhlak Sarimin begitu bagus”.
Saudaraku, sampailah saat Hendri diwisuda. Dan ketika selesai diwisuda, dia letakkan toga wisudanya dan bergegas menuju ke suatu masjid. Apa yang dilakukan Hendri? Hendri langsung mengucapkan dua kalimah syahadat. Asyhaduallaaa Ilaa Ha Illallaah… wa Asyhaduallaaa Muhammadarrasuulllah…
Setelah itu, Hendri langsung pulang ke Cilacap. Dan sebelum Hendri sampai ke rumahnya, dia sempatkan untuk mampir terlebih dahulu ke rumah Sarimin. ”Assalamualaikum… assalamualaikum…”.
Lalu bapak Sariminlah yang keluar. “Waalaikumsalam…. Oh, nak Hendri …”.
”Tapi kok nak Hendri Assalamualaikum??”, tanya bapak Sarimin kepada Hendri.
“Iya pak, saya sekarang sudah menjadi seorang muslim pak”, jawab Hendri.
“Alhamdulillah… bapak senang nak..” ujar bapak Sarimin senang mendengar jawaban dari Hendri.
Hendri lalu menanyakan Sarimin, “Pak, mana Sarimin? Sudah selesai belum kuliahnya pak? Saya kangen sekali dengan dia pak, saya ingin ketemu pak, dimana alamatnya pak”.
Bapak Sarimin masih terdiam belum menjawabnya. “Pak, dimana alamatnya pak? nomor teleponnya berapa pak?”.
Bapak Sarimin juga belum menjawabnya. Sampai akhirnya Hendri berkata, “Pak, kenapa bapak diam saja? Saya bertanya tentang Sarimin Pak?!”.
Lalu bapak Sarimin baru menjawabnya, “Nak Hendri, mau ketemu Sarimin?”.
“Betul Pak !” jawab Hendri.
“Mari nak, kita ke belakang rumah” jawab bapak Sarimin.
Dan saudaraku, ditunjukkanlah sebuah kubur di belakang rumah itu. Di batu Nisan bertuliskan Sarimin. Hendri langsung tertunduk lemas dan mulai keluarlah air matanya.
Dia bertanya lagi kepada bapak Sarimin, “Kapan dia meninggal paak..”.
Lalu Bapak menjawab dengan lirih “Dua tahun yang lalu ketika Sarimin semester 5. Dia terserang penyakit tifus”.
Hendri langsung duduk bersimpuh. Sambil menangis Hendri berkata, “Yaa… Allah…. perjumpakanlah Sarimin dengan-Mu yaa… Rabb… Perjumpakanlah dia dengan Nabi-Mu, Kekasih-Mu, Rasulullah…, Demi Allah yaa Allah…. Saya Islam, mendapat hidayah karena kemuliaan akhlak Sarimin. Sayalah saksinya yaa… Allah…. bahwa sarimin cinta… cinta…. kepadamu yaa… Allah… yaa… Rasulullah….”.
Allahu Akbar…
Sarimin tidak banyak bicara tentang Islam. Tetapi Sarimin sudah menjadi bukti tentang kemuliaan Islam.
***
(Ustadz Komar, Daarut Tauhiid Bandung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar